Ini cerita sewaktu di Jakarta lalu ketika saya selesai menghadiri Pesta Blogger 2009 di Gedung Smesco Sabtu tanggal 24 Oktober lalu. Dalam perjalanan pulang, saya mampir ke Ace Hardware di Jalan Fatmawati Jakarta Selatan untuk membeli sebuah multitester dan juga sebuah pancuran shower. Karena kebetulan shower di rumah saya di Jakarta sudah agak bocor jadinya perlu diganti. Multitesternya? Tentu saja tidak ada hubungannya dengan bocornya shower saya itu dong! 😛 Ketika saya akan membayar kedua item yang saya beli sebesar Rp. 278.800,- saya membayarnya kas dengan 3 lembar uang kertas masing-masing Rp. 100.000,- di kasir. Namun ketika si kasir ingin mengembalikan uang kembalian, tiba-tiba si kasir menyerukan: “Pak, yang Rp. 200,- ingin disalurkan ke daerah gempa di Padang?” Saya tegas menjawab: “Tidak!”
Saya pelit?? Terserah pembaca mau menilai saya ini pelit atau nggak. Tapi dengarkan dulu penjelasan saya, entah kenapa saya ini paling sebal jikalau disuruh menyumbang di depan seseorang, walaupun itu cuma Rp. 200,-. Apalagi model “todongan” seperti yang saya alami di Ace Hardware Fatmawati ini. Menurut saya pribadi, orang lain nggak perlu tahu saya sudah menyumbang atau belum menyumbang untuk korban gempa bumi di manapun juga (bukan hanya di Padang, Sumbar). Alasan kedua, saya agak sebal dengan cara Ace Hardware ingin berpartisipasi menyumbang untuk korban gempa bumi jikalau caranya seperti itu. Jikalau mereka ingin berpartisipasi menyumbang sekalian ingin berpromosi mendapatkan nama harum, kenapa nggak langsung saja menyisihkan keuntungannya untuk para korban musibah alam tersebut tanpa harus melibatkan pelanggannya. Atau, jika ingin melibatkan pelanggannya, kenapa nggak disediakan kotak amal atau tuliskan saja nomor rekening yang bisa menampung sumbangan di baliho atau di banner depan pintu masuk toko? Beres kan? Masalah ada orang yang nyumbang atau nggak ke nomor rekening tersebut ya itu bukan masalah. Pokoknya entah kenapa aku paling sebal kalau harus menyumbang langsung di depan orang, apalagi model “todongan” seperti yang saya alami ini. Apalagi kalau nyumbang pakai dicatat nama segala. Bukan hanya riya tapi kok sepertinya norak banget gitu. Walaupun mungkin catatan nama diperlukan untuk pertanggungjawaban penyaluran dana bantuan.
Nah…. jadi ada dua hal yang mau saya sampaikan dalam artikel ini. Pertama, menurut saya sebisa mungkin seminimal mungkin orang lain yang tahu kita menyumbang kecuali jikalau kita tidak ada pilihan lain. Kedua, jangan gengsi untuk mempertahankan prinsip yang anda pertahankan sejak dulu. Saya sendiri tidak malu dikatakan pelit atau kéré karena tidak mau menyumbang meskipun hanya Rp. 200,-. Biarin aja kalau saya dibilang pelit sama si mbak-mbak kasir (atau mungkin ada di antara pembaca yang juga menganggap saya pelit? ). Toh, saya tidak perlu pengakuan dari si mbak-mbak kasir (atau dari orang lain manapun) apakah saya pelit atau tidak….. Nggak ada gunanya saya mempertahankan gengsi saya di depan si mbak-mbak kasir!