Tuhan di mana ya???

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ 

(QS:50-16)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya (QS 50:16) 

Saya menyukai film “Contact” yang dibintangi oleh Jodie Foster, yang posternya saya tampilkan di gambar samping teks ini. Film ini bercerita tentang seorang ilmuwan wanita (diperankan oleh Jodie Foster) yang menurut banyak koleganya “menyia-nyiakan” waktunya dengan bekerja sebagai “pencari sinyal” dari makhluk angkasa luar dalam sebuah proyek, yang bahkan banyak para koleganya yang berkata itu adalah proyek yang bodoh dan sia-sia. Dalam film ini diceritakan pula setelah ia berhasil mendapatkan sinyal dari luar angkasa dari spesies makhluk cerdas di luar angkasa berupa kode-kode cara pembangunan pesawat ruang angkasa canggih, akhirnya banyak pihak-pihak yang secara tak etis berusaha untuk mengambil alih proyeknya. Tapi bukan itu yang paling menarik dari kisah ini, yang paling menarik adalah ilmuwan wanita ini dikisahkan tumbuh sebagai seorang atheis dengan alasan sebagai ilmuwan ia sangat terbiasa dengan kata-kata “bukti dan observasi” yang selalu tidak pernah ia dapatkan jika ia ingin mengetahui Tuhan. Namun, setelah ia berangkat dengan pesawat ruang angkasanya (yang ternyata adalah sebuah pesawat transdimensional) dari Hokkaido, Jepang dan ia tidak bisa membawa bukti apapun setelah ia pulang kembali (ia mendokumentasikan seluruh perjalanannya yang singkat ke luar angkasa dengan kamera videonya, namun kamera video itu entah kenapa ternyata tidak dapat digunakan selama di perjalanan antardimensi tersebut sehingga ia tidak membawa dokumentasi apapun! ), ia “diinterogasi” oleh dewan yang mewakili banyak fihak mulai dari masyarakat ilmiah hingga fihak wakil-wakil internasional yang telah mendanai milyaran dollar perjalanan itu. Si ilmuwan wanita ini berusaha meyakinkan bahwa perjalanan angkasa itu benar-benar terjadi walaupun ia tidak dapat menunjukkan buktiknya. Ia meyakinkan dewan bahwa sebagai ilmuwan ia tidak bohong dan mengatakan bahwa perjalanan itu benar-benar terjadi. Maklum, banyak orang yang tidak percaya kepadanya karena perjalanan angkasa itu hanya berlangsung beberapa detik saja menurut waktu Bumi, meskipun menurut waktu si ilmuwan wanita dalam pesawat perjalanan berlangsung selama 18 jam. Namun dewan tetap tidak percaya bahkan ada yang menuduhnya pembohong dan tidak konsisten sebagai ilmuwan, nah ini dia menariknya, salah seorang dewan itu mengatakan bahwa bagaimana mungkin seorang ilmuwan seperti dia yang katanya tidak percaya kepada Tuhan karena tidak ada bukti namun kini ia berusaha meyakinkan dewan atas perjalanannya yang juga tidak ada bukti???

“Contact” memanglah bukan film agama, dan bukanlah pula menceritakan tetang satu agama tertentu apalagi tentang agama Islam. Film ini hanya mengisahkan tentang seorang ilmuwan yang nalurinya selalu ingin mencari yang baru untuk disumbangkan kepada umat manusia walaupun kerap kali hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Namun toh film ini telah memberikan inspirasi tanpa harus menggurui kepada banyak penontonnya terutama saya dalam meyakini keberadaan Allah. Seperti dikisahkan dalam film ini yang banyak terjadi juga di dunia nyata pada orang-orang atheis yang tidak percaya akan keberadaan Allah (Tuhan), namun bodohnya dan anehnya mereka percaya kepada keberadaan aliens atau makhluk angkasa luar padahal merekapun juga belum pernah melihat aliens! Jadi apa bedanya?? Apakah itu karena kata Tuhan udah ada sejak dari dulu sehingga dirasakan merupakan bagian dari kepercayaan kuno yang kini dibilang ‘usang’ dan ‘ketinggalan zaman’? Sedangkan aliens terlihat lebih ‘keren’ karena mereka digambarkan di film-film datang dengan pesawat angkasa dan senjata laser, anti-materi, ataupun whatever yang canggih, yang ‘cocok’ dengan kondisi modern sekarang ini? Kalau hanya dilandasi opini seperti itu, sungguh sesuatu yang naif. Saya dulu di mIRC pernah setengah berdebat dengan seorang atheis dari Jerman, ia mengatakan bahwa keberadaan Bumi, matahari dan seluruh alam semesta ini bukanlah bukti keberadaan Tuhan, namun karena ia mempercayai keberadaan aliens berdasarkan ‘logika’nya, saya balik bertanya, mana kalau begitu bukti kongkrit keberadaan aliens? Dia bilang bahwa sudah cukup banyak orang/saksi yang menyaksikan penampakan pesawat luar angkasa aliens tersebut! Saya hanya tertawa dalam hati dan malas meneruskan ‘perdebatan’, saya fikir bukti seperti itu jauh lebih buruk dibandingkan bukti alam semesta ini sebagai bukti keberadaan Allah (Tuhan). Apalagi selama ini, saksi-saksi tersebut selalu tidak bisa dikonfirmasikan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan kesaksiannya, sungguh sesuatu yang menggelikan! Ternyata orang Jerman ada juga yang bloon ya! Namun orang Indonesia ada juga yang lebih bloon lagi yang lebih percaya kuntilanak,  gendruwo ataupun mbah Jambrong dibandingkan Allah atau Tuhan.

Lima ratus tahun yang lalu, sebelum ilmuwan Belanda Antonie van Leeuwenhoek menemukan mikroskop, manusia tidak dapat melihat jazad-jazad renik ataupun makhluk-makhluk mikroskopik, namun tidak bisa melihat belum berarti tidak ada bukan? Bahkan di zaman modern ini masih banyak benda-benda yang belum bisa dilihat manusia karena kecilnya ataupun jauhnya. Sub-sub partikel yang lebih kecil dari atom seperti quark, muon ataupun gluon secara fisik belum dapat dilihat oleh manusia karena kecilnya, juga planet-planet di luar tata surya kita yang letaknya sangat jauh juga belum dapat dilihat secara fisik dan nyata, keberadaan planet-planet tersebut baru hanya bisa dideteksi keberadaannya lewat observasi sinar bintang di dekatnya. Namun tidak bisa dilihat secara fisik bukan berarti tidak ada bukan? Juga gelombang elektromagnetis yang panjang gelombangnya lebih panjang dari infra-merah ataupun yang lebih pendek daripada ultraviolet, seperti gelombang radio, televisi, komunikasi selular dan sebagainya yang tidak bisa dilihat dengan mata ataupun dirasakan dengan panca indra lainnya, namun toh semuanya itu ada dan nyata! Nah, jikalau teknologi manusia saat ini belum bisa melihat subpartikel ataupun planet yang jauh yang merupakan ciptaan Allah juga, apalagi kita mau melihat Sang Penciptanya yang Maha Agung dengan teknologi kita yang masih ‘primitif’ ini! Tapi yang jelas, kita harus percaya bahwa Allah itu ada seperti ayat yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw di atas, bahwasannya Allah dapat berada dimana-mana (omnipresent), bahkan keberadaan Allah swt dapat lebih dekat dari urat nadi kita sendiri!

41 responses to “Tuhan di mana ya???

  1. Introduction artikel ini menarik! Saya kepengen tahu dan nonton deh film ini (maklum sangat jarang nonton nih… :D).

    Terus saya juga tertarik debat Pak Yari dengan temen yang orang Jerman itu. Hehehe… alasan temen Pak YAri sama sekali tidak kuat, sangat lemah, bisa dikatakan berupa kebohongan…. dunia nyata tempat ia berpijak dianggap hanya hayalan (ga ada). Sedangkan eliens yang (mungkin) masih berupa hayalan diangggap kenyataan. Bener-bener balo*n tuh orang. (Duh maaf saya ikutan ngata-ngatain deh)

    Nice article! 😀

  2. saya nonton filemnya juga tuh… udah lama banget… heheh…
    makasih udah mampir blog saya pak… salam kenal juga… 🙂

  3. .. bagaimana mungkin seorang ilmuwan seperti dia yang katanya tidak percaya kepada Tuhan karena tidak ada bukti namun kini ia berusaha meyakinkan dewan atas perjalanannya yang juga tidak ada bukti???

    .. namun tidak bisa melihat belum berarti tidak ada bukan?

    Cool

  4. Wah, saya belum nonton nih filmnya.Seru dan menarik kayanya.

    Memang susah berdebat dengan seseorang yang menganut atheisme.Saya juga pernah berdebat tuk hal yang sama.Malah dia balik bertanya,”Mang kamu sudah pernah ke neraka atau surga.Kalau belum pernah jangan sok cerita agama”.Duh, sebel bangat.Bodo ah, yang penting kita percaya Tuhan selalu ada di hati kita.

  5. Selamat Siang Pak,wajarlah masih ada orang yang belum percaya sama Yang Di Atas,namanya juga keyakinan Pak.Kita dan kebanyakan orang yang yakin adanya keberadaan Tuhan pasti merasa amat mengerikan terhadap cara pandang orang2 atheis,sebaliknya mereka justru merasa kita orang bodoh yang mempercayai sesuatu berdasarkan keyakinan belaka.
    Menurut hemat saya biarkanlah proses alamiah ini berkembang,toh yang benar tetap benar walaupun tidak dapat dibuktikan sekalipun.Orang atheis itu pasti ada di setiap zaman.Kalau kita melongok lebih ke belakang lagi,lahirnya agama Islam itu dilatarbelakngi oleh sikap atheis dari sekelompok orang yang waktu itu diebut zaman Jahiliyah ( zamam kegelapan ).Allah melihat itu tidak baik maka diutuslah Seorang Yang terAmat Suci dan Maha Mulia yaitu Nabi Besar Muhammad SAW,Beliaulah yang kemudian berusaha untuk menyadarkan orang2 kafir itu untuk kembali ke jalan Allah.Dengan kesabaran yang tak terbatas Beliau dan dengan kebesaran Allah maka agama Islam terbentuk dan abadi untuk selamanya.Mudah2an orang2 atheis zaman sekarang nantinya akan menemukan bukti2 kebesaran Allah juga. Amin!

  6. @mathematicse

    Saya udah berapa kali nonton ya? 3 kali kalau nggak salah! Pertama kali di bioskop, kedua di VCD, terkahir beberapa bulan yang lalu di Cinemax! 😀
    Sebenarnya, Kang Jupri, saya menganggap dia bloon karena dia duluan yang mengatakan bahwa orang yang monotheisme itu ‘nggak masuk akal’ atau ‘irasional’ dan juga katanya kita2 ini ‘otaknya sudah tercuci’ dengan agama, mangkannya saya tulis di blog ini kalo dia itu bodoh huehehehe… 😀

    @igncahyo

    Terima kasih ya telah berkunjung ke blogku juga! 🙂

    @erander

    Hot you’re cool! (judul lagu!) :mrgreen:

    @hanna

    memang mbak, kalau pada dasarnya mau berdebat sudah punya pandangan yang berbeda pasti nggak bakalan ketemu, ujung2nya jadinya ya gitu deh! Huehehehe 😀

    @Yung Mau Lim

    Maaf Yung Mau, sebelumnya saya mohon maaf sebab saya nggak tahu apakah anda ini wanita atau pria. Waktu itu saya panggil mas, tapi saya baca di blognya kang Jupri (mathematicse) kok ada yang memanggil anda mbak. Jadi kalau ada kesalahan mohon dimaafkan ya! 😀
    mas/mbak Yung Mau, sebenarnya saya tidak ada masalah bergaul dengan orang2 atheis, agnostik, atau dengan agama apapun. Adapun tulisan saya di atas yang mengatakan Si Jerman ini bego itu karena ia duluan yang menganggap kita-kita ini (yang menganut monotheisme) sebagai orang-orang yang nggak rasional, mangkannya kami berdua waktu itu langsung ‘terlibat’ dalam argumentasi yang pasti tidak akan pernah ada ujungnya! Capeee deh! Hehehe…! 😀

  7. Benar memang, tidak melihat bukan berarti tidak ada, tapi juga bukan berarti ada bukan? 😉

  8. Yang jadi pikiran itu bukan Tuhan itu ada atau enggak, atau rumahnya di mana letaknya di mana?, jujur atau enggak jujur, percaya atau enggak percaya, kita semua sudah tahu jawabnya, tapi yang selayaknya mesti dipertanyakan… :
    1. Buat apa sih eksistensi kita diciptakan Tuhan, apa Tuhan butuh mainan buat ngisi waktu? lalu diciptakan manusia? jangan dijawab : manusia diciptakan buat beribadah, buat menyembah buat mengabdi, Bro.. itu jawaban anak TK,
    2. Bumi itu cuma sebutir beras di banding Yupiter atau matahari, terus buat apa sih Yupiter diciptakan? kalau matahari kan jelas apa fungsinya… yang lainnya itu lho, seperti pluto, venus buat apa? belum yang di galaksi lain. Buat apa coba… masa sudah umur-umur gini masih membahas Tuhan. Andakan kita ini Robot yang diciptakan manusia, masa robot bingung mikir manusia penciptanya, harusnya kan bingung mikir sebagai robot, kenapa sih diciptakan? kenapa sih mesti diciptakan banyak robot? kenapa enggak satu aja? kenapa ada ini ada itu..disekeliling robot…
    3. …..
    4. …..
    Dua aja dulu, nanti malah bingung…

  9. Di tempat saya kerja banyak sekali bule atheis. Saya males berdebat dengan mereka. Sepetinya mereka cuek-cuek aja dengan kami-kami yang menjalankan ibadah. Pernah diajak berdebat, mereka cuma angkat bahu saja. Cape deh..

  10. Panggilan Bapak udah benar yaitu Mas, saya pria tulen lo he3,ayah 2 putra,senang sekali dapat saling tukar pikiran dengan Bapak.Memang cape deh..Udahlah mari kita beribadah menyembah Tuhan kita sebagai umat beragama dan menjalin hubungan baik dengan umat lain sebagai makhluk sosial.

  11. Sebuah pertanyaan yang sering menggoda kaum sufi untuk mempertanyakan hakikat Tuhan. Namun, agaknya pertanyaan ini tak bisa terjawab dengan memuaskan karena sebenarnya dengan melihat berbagai fenomena alam semesta ini, sebenarnya kita sudah menemukan jawabannya. Di balik kegaiban dan keagungan melalui ciptaan-Nya sebenarnya kita sudah bisa menjawab pertanyaan itu, meski berbau dogmatis.

  12. Kebetulan pak Sawali menulis nama Thomas AQuinas seorang filsuf sekaligus Teolog.Thomas menulis bukti-bukti adanya Allah yang tidak dapat saya tuliskan di sini karna terlalu panjang.

  13. @danalingga

    tentu, masing2 berhak dong mempunyai pendapat sendiri2, tetapi yang penting jangan pernah menganggap kita2 yang percaya keberadaanNya dianggap irrasional seperti Si Jerman bloon itu 😉

    @asukowe

    Tentu, jawaban seperti itu bukan hanya jawaban anak TK, tapi itu jawaban bayi-bayi yang baru lahir, walaupun mungkin ada benarnya! Tetapi ingat, ibadah bukan hanya sholat, zakat, puasa, haji, sedekah, berbuat baik terhadap sesama, dll. Ibadah mencakup juga hal-hal yang lebih luas seperti civilisation development, pembelajaran dan eksplorasi alam termasuk angkasa luar, dsb. Namun apapun motivasi Allah menciptakan kita, kita masih terlalu ‘bodoh’ untuk mengetahuinya, tetapi bagaimanapun juga Allah maha berhak untuk berbuat apapun termasuk menciptakan manusia. Jikalau anda ingin mencari jawaban “Kenapa Allah menciptakan kita” silahkan anda cari, nanti kalau anda sudah tahu, kasih tahu saya ya! 😉
    O ya, mengenai kenapa ada planet2 lain yang kosong selain Bumi, tidak pernahkah anda berfikir bahwa jikalau Bumi sudah sesak, suatu saat nanti manusia harus mengeksplorasi planet lain untuk menjadikan tempat2 tersebut habitable dengan cara terraforming ataupun bioforming. Terraforming adalah sebuah teknik untuk membuat suatu planet habitable untuk spesies kita, sedangkan bioforming adalah kebalikannya yaitu adalah sebuah teknik untuk membuat tubuh kita dapat survive untuk hidup di planet tersebut. Of course kedua teknik itu sampai sekarang masih lebih sci-fi daripada sains, tetapi di masa depan? Siapa tahu kan? Dan juga tentu saja di planet-planet tersebut mungkin juga terdapat mineral-mineral dan logam-logam untuk pengganti mineral-mineral dan logam-logam di Bumi yang sudah habis dieksploitasi. Pokoknya banyak kegunaan planet2 lain untuk kita, Ok? 😉

    @Yung Mau Lim

    Berarti saya tidak salah memanggil ya? Hehehe… Terima kasih Mas Yung Mau atas konfirmasinya! 🙂

    @pr4s

    Saya juga sudah sering bertemu bule (dan juga non-bule) yang atheis, agnostik dan lain sebagainya, dan mereka juga nggak perduli kalau kita menjalankan ibadah kita, mereka (bule2 yang saya temui) sangat menghormati kepercayaan individu yang menjadi hak masing2. Tapi ya itu, terkadang mungkin satu dua orang ada yang bodoh dan iseng yang beranggapan bahwa orang2 monotheist seperti kita dianggap tidak rasional, dan kerap kali mengangkat isu itu sebagai bahan/topik pembicaraan, nah itu biasanya yang saya nggak tahan yang akhirnya terpaksa saya ‘ladenin’! 🙂

    @Sawali Tuhusetya

    Benar pak Sawali, jikalau masing2 sudah punya pandangan sendiri, akan susah bertemu walaupun berdebat sehebat apapun, apalagi kalau yang berbicara itu adalah ‘ego’. Yang penting bagi kita, benar apa yang pak Sawali katakan, kita bisa melihat seluruh alam ini sebagai salah satu bentuk keagunganNya ditengah2 banyak keagunganNya yang lain. 🙂

    @ hanna

    Terima kasih mbak hanna atas informasinya 🙂

  14. Hohohoho…saya jadi penasaran akan akhir ilmuwan atheis ini.. 😀

    BEgitulah adanya, Pak. Tidak semua orang mempercayai semua hal. Ada yang percaya Tuhan dan tidak percaya mahluk halus. 😀

  15. Saya dah dua kali nonton film itu pak. film yang menarik sekali. Pertama saya nonton pas diputar di indosiar, yang kedua di HBO. Memang film yang bagus sekali. Lagipula, di bagian terakhirnya, ada petugas metadata yang meriksa rekaman flesdis si joide, katanya walaupun isinya semut doang, durasinya sampe 18 jam. Bwahahahahahaa!! Memang keren…

    Btw, masuk ke bagian orang jerman, memang kalo sudah begitu jawabnya mereka merasa tidak terbantahkan, maklon, NABI MUSA SAJA GAK KUWAT NGELIYAT TUHAN. :))

  16. @ Mihael “D.B.” Ellinsworth

    Yah, memang begitulah di dunia ini, kepercayaan sangat beraneka ragam! Meskipun kadang2 terdengarnya bodoh, namun saya selalu berusaha untuk menyimpannya dalam hati, kecuali mereka mulai berbicara “ngawur” duluan dengan sikap menyerang kita tentang apa yang mereka percayai. 🙂

    Btw, terims ya sudah mampir di blogku!

    @Black_Claw

    Emang, zamannya si Jodie waktu itu (bikinnya tahun 1990an deh kalo nggak salah) emang udah ada flashdisk ya? Baru tahu aku! :mrgreen:

    Khusus buat si Jerman, emang dianya aja yang tulalit! :mrgreen:

  17. ini ada kajian online dari AUDIOSALAF yang berjudul ‘Dimana ALLOHhttp://ahlussunnah.web.id/audio/index.php?id=147

    semoga bermanfaat, agar aqidah kita tidak rusak oleh pemikiran-pemikiran yang sesat.

  18. saya cuma mo nyerang balik aja.
    met kenal thank kayu atas kunjungan ke blog saya.

    angga 🙂

  19. @Abdillah

    Thanks atas linknya 🙂

    @prabudiansori

    Thanks juga atas kunjungannya ke blog saya juga 🙂

  20. Ehm… mesti nonton filmnya dulu deh!

    _____________________

    Yari NK:

    Silahkan mas peyek! 😀

  21. Sesuatu yang Benar Belum tentu Masuk akal
    dan Sesuatu yang Masuk akal Belum tentu Kebenarannya

    @@@###%$%^##$%$@#@@$5*(&&%*&^$%&^)
    dasar orang Jerman B*O*N !!!

    ups kasar banget …..
    🙂

  22. @aisalwa

    Huuush bulan puasa! Jangan kasar-kasar! Huehehehe 😀

  23. Tak mudah memang untuk istiqomah dalam menjalankan kebaikan atau meninggalkan yang dilarang dalam segala situasi dan keadaan. Misalnya saja, saat diadakannya ujian. Boleh jadi itu ujian akhir sekolah, ujian masuk perguruan tinggi, ujian tingkat keahlian atau pun beragam jenis ujian lainnya yang masing-masing peserta pasti ingin bisa melaluinya dengan baik dan lulus. Berbagai cara pun, ditempuh. Ada yang mengikuti lembaga bimbingan belajar, ada yang bekerja keras belajar secara intensif, bahkan ada pula yang mengambil jalan pintas dengan menggunakan jasa joki atau minimalnya membuat contekan!

    Bagi yang mengambil jalan pintas, semua strategi telah direncanakan dan diatur dengan rapi. Dengan harapan segalanya bisa berjalan dengan lancar dan supaya tak ketahuan tentunya. Bagaimana jadinya kalau aksi yang di luar jalur ini ketahuan, pastilah peserta ujian ini akan dibatalkan dan akan mendapat sanksi moral berupa ‘malu’!
    Malu kepada siapa? Manusia? Siapa sih orangnya yang takkan malu jika aksinya yang tak jujur itu diketahui orang lain. Sebenarnya bukan dalam situasi ujian saja, masih banyak aksi-aksi lain yang sering kali dilakukan dengan sembunyi-sembunyi ataupun tetap nekat dilakukan, mumpung tak ada yang tahu.
    Kalau begitu dimana Allah? Memang benar tak ada orang lain yang tahu, memang benar tak ada orang lain di sisi kita. Namun, dimana pun kita berada, dimana pun kita bersembunyi bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun, ada Allah yang senantiasa terjaga, mengawasi makhluknya. Kita tidak betul-betul sedang sendiri, ada Allah yang senantiasa bersama kita. Allah maha melihat, mengetahui rahasia-rahasia, dan mengamati apa saja yang dikerjakan oleh setiap jiwa. Kita malu pada Yang Maha Melihat.

  24. Pada masa sekarang ini, di mana banyak diantara kaum muslimin yang sudah sangat menyepelekan masalah aqidah shahihah yang merupakan masalah paling pokok dalam agama ini, maka akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur dari pertanyaan “Dimana Alloh?”. Yang pertama mereka yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam diri setiap kita? Dan kedua yaitu yang mengatakan Alloh ada di mana-mana atau di segala tempat?

    Seorang Budak Pun Tahu Dimana Alloh

    Ketahuilah wahai Saudaraku, pertanyaan “Dimana Alloh?” adalah pertanyaan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan kepunyaan Mu’awiyah bin Hakam As Sulamiy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya. “Beliau bertanya kepada budak perempuan itu, ‘Dimanakah Alloh?’ Jawab budak perempuan, ‘Di atas langit’ Beliau bertanya lagi, Siapakah aku? Jawab budak perempuan, ‘Engkau adalah Rosululloh’, Beliau bersabda, ‘Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mu’minah (perempuan yang beriman)’.” (HR. Muslim dan lainnya)

    Maka perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut, yang mana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing sekalipun, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sangat sedikit, seperti penggembala kambing ini. Kemudian bandingkanlah dengan realita kaum muslimin sekarang ini, niscaya akan kita dapatkan perbedaan yang sangat jauh.

    Keyakinan di mana Alloh termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu penetapan sifat Al-’Uluw (sifat ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahwa Dia di atas seluruh mahluk), ketinggian yang mutlak dari segala sisi dan penetapan Istiwa’ (bersemayam)-Nya di atas Al-’Arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya sebagaimana yang diyakini oleh kaum Wihdatul Wujud, yang telah dikafirkan oleh para ulama kita yang dahulu dan sekarang. Dan dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, ijma’, akal dan fitrah sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secara mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.

    Dalil-Dalil Al Qur’an

    Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “(Robb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thoha: 5). Dan pada enam tempat dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, “Kemudian Dia Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54). ‘Arsy adalah makhluk Alloh yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas, “Dan ‘Arsy tidak seorang pun dapat mengukur berapa besarnya.” (Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, sanadnya Shahih). Ayat ini jelas sekali menunjukkan ketinggian dan keberadaan Alloh Subhanahu wa Ta’ala di atas langit serta menutup jalan untuk meniadakan atau menghilangkan sifat ketinggian-Nya atau mentakwilkannya. Para ulama Ahlus Sunnah pun sepakat bahwa Alloh Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa mempertanyakan bagaimana cara/kaifiyat istiwa’-Nya. Dan perlu diketahui bahwa penetapan sifat ini sama dengan penetapan seluruh sifat Alloh yang lainnya, yaitu harus berjalan di atas dasar penetapan sifat Alloh sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya tanpa ada penyerupaan sedikitpun dengan makhluk-Nya.

    Dalil-Dalil As Sunnah

    Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah juga sangat banyak, di antaranya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku adalah kepercayaan Yang berada di atas langit. Datang kepadaku wahyu dari langit di waktu pagi dan petang.” (HR. Bukhori-Muslim). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Rahman, sayangilah siapa saja yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh Yang berada di atas langit.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Imam Al-Albani). Begitu pula dengan hadits pertanyaan Rosululloh kepada budak perempuan yang telah disebutkan di atas. Imam Adz-Dzahabi berkata setelah membawakan hadits budak perempuan di atas, “Demikianlah pendapat kami bahwa setiap orang yang ditanyakan di manakah Alloh, dia segera menjawab dengan fitrahnya, ‘Alloh di atas langit!’ Dan di dalam hadits ini ada dua perkara yang penting; Pertama disyariatkannya pertanyaan, ‘Dimana Alloh?’ Kedua, disyariatkannya jawaban yang ditanya, ‘Di atas langit’. Maka siapa yang mengingkari kedua perkara ini maka sesungguhnya dia mengingkari Al-Musthofa shollallohu ‘alaihi wa sallam”. (Mukhtashor Al-’Uluw)

    Akan tetapi realita kaum muslimin sekarang amat sangat memprihatinkan. Pertanyaan ini justeru telah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh sebagian jama’ah-jama’ah dakwah di zaman ini? Ataukah justru pertanyaan ini telah menjadi bahan olok-olokan semata? Ataukah kaum muslimin sekarang ini telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunkan Alloh, meskipun mereka menyia-nyiakan hak Alloh? Maka kapankah Alloh akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan kita dari orang-orang kafir yang menghinakan dan merendahkan kita sebagaimana telah dibebaskannya seorang wanita dari hinanya perbudakan setelah ia mengenal dimana Alloh?

    Konsekuensi Jawaban Yang Keliru

    Alangkah batilnya orang yang yang mengatakan bahwasanya Alloh berada di setiap tempat atau Alloh berada di mana-mana karena konsekuensinya menetapkan keberadaan Alloh di jalan-jalan, di pasar bahkan di tempat-tempat kotor dan berada di bawah makhluk-Nya. Kita katakan kepada mereka, “Maha Suci Alloh dari apa-apa yang mereka sifatkan.” (Al-Mu’minun: 91). Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Alloh ada dalam setiap diri kita (??) karena konsekuensinya Alloh itu banyak, sebanyak bilangan makhluk? Maka aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidahnya kaum Nashrani yang mengakui adanya tiga tuhan (trinitas). Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Alloh tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena hal ini berarti Alloh itu tidak ada (??) maka selama ini siapa Tuhan yang mereka sembah? Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Alloh di atas ‘Arsy atau di bumi” mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa ia istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “Kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Alloh. Pantaslah jika Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, tentunya setelah ditegakkan hujjah atas mereka.

    Dalil Fitrah

    Sebenarnya tanpa adanya dalil naqli tentang keberadaan Alloh di atas, fitrah kita sudah menunjukkan hal tersebut. Lihatlah jika manusia berdo’a khususnya apabila sedang tertimpa musibah, mereka menengadahkan wajah dan tangan ke langit sementara gerakan mata mereka ke atas mengikuti isyarat hatinya yang juga mengarah ke atas. Maka siapakah yang mengingkari fitrah ini kecuali mereka yang telah rusak fitrahnya? Bahkan seorang artis pun ketika ditanya tentang kapan dia mau menikah maka dia menjawab, “Kita serahkan pada Yang di atas!” Maka mengapa kita tidak menjawab pertanyaan “Dimana Alloh?” dengan fitrah kita? Dengan memperhatikan kenyataan ini, lalu mengapa kita lebih sibuk menyatukan suara kaum muslimin di kotak-kotak pemilihan umum sementara hati-hati mereka tidak disatukan di atas aqidah yang shahih? Bukankah persatuan jasmani tidak akan terwujud bilamana ikatan hati bercerai-berai? Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka berpecah-belah.” (Al-Hasyr: 14). Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan.

    EHM, GITU…

    ______________________________________________

    Yari NK replies:

    Terima kasih atas komennya yang sangat komprehensif….. 🙂

    Memang, dalam artikel di atas, saya menitikberatkan kepada pertentangan keberadaan Allah dan ketidakberadaan Allah dilihat dari sudut pandang seorang atheis, seperti pengalaman saya di atas berdebat online dengan seorang atheis. Keberadaan Allah dapat dipercayai dari berbagai macam sudut, karena saya senang dengan hal2 yang berbau ilmiah, saya mempercayai keberadaan Allah dari rumitnya sistem tubuh kita diciptakan. Tubuh kita mempunyai sistem2 yang jauh lebih rumit dibandingkan komputer tercanggihpun atau mesin2 mobil dan pesawat terbang tercanggihpun. Kita harus benar2 mengerti kecanggihan sistem2 di dalam tubuh kita sebelum kita bisa mengapresiasi sistem2 tersebut, tidak bisa hanya sekedar perkataan “Bukti ciptaan Allah itu adanya makhluk2 di dunia ini, yang manusia belum bisa menciptakannya!”. Tentu sejak anak2 kita sudah dicekoki kalimat2 semacam wishful thinking seperti itu, namun tanpa mengapresiasi kerumit2an dalam tubuh kita, perkataan2 tersebut akan tetap menjadi “wishful thinking” saja dan tidak akan berubah menjadi kepercayaan dari hati yang mendalam. Pendek kata kalau mobil dan komputer yang lebih primitif dari sistem2 di tubuh manusia saja ada yang menciptakan, maka pasti sistem2 dalam tubuh kita yang supercanggih ini ada juga yang menciptakan……..

    Pada artikel saya di atas, “dapat berada di mana2″ berbeda dengan “berada di mana2”. “Dapat berada di mana2” menunjukkan bahwa Allah maha kuasa, Allah dapat berada di semua tempat yang didiami manusia dan juga berada di semua tempat yang tidak bisa didiami manusia. Maha besar Allah yang jauh di atas keterbatasan2 manusia.

    Begitu….. 😀

  25. lebih tepat deh kalo dikatakan bahwa KEKUASAAN ALLOH meliputi segalanya. kalo dikatain WUJUD DZAT ALLOH dapat berada dimana2 saya tandaskan TIdak BEnar. Dunia ini tidak ada apaanya di sisi Allah, bayangkan saja dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa Allah menggenggam bumi seisinya. nih ada beberapa haditsnya,
    Artinya :

    Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda : Allah menggenggam bumi dan rnelipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian bertirman : “Akulah Raja, dimanakah raja-raja bumi ?” (Hadits ditakhrij oleh Rukhari).

    Artinya :

    Dari Abdullah bin Umar ra. Sesungguhnya Allah menggenggam bumi atau bumi-bumi dan langit-langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian Dia berfirman : “Aku Raja”. (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).

    Artinya :

    Dari Abdullah ra. dia berkata : “Datanglah salah seorang pendeta kepada Rasulullah saw. pendeta itu berkata : “Wahai Muhammad, sesungguhnya kami dapati bahwa Allah menjadikan langit atas satu jari dan bumi-bumi atas satu jari, pohon atas satu jari dan semua makhluk atas satu jari, dan Allah berfirman : “Akulah Raja”. Nabi saw tertawa sehingga tampak gigi taring beliau, membenarkan kata-kata pendeta itu, kemudian Rasulullah saw. membaca : “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya, Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan”. (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).

    Artinya :

    Dari Ubaidillah bin Muqassim, bahwasanya dia melihat kepada Abdullah bin Umar ra., bagaimana Rasulullah mengisahkan, beliau bersabda : “Allah mengambil langit dan bumi-bumi dengan keduanya-Nya dan berfirman : “Akulah Allah sambil menggenggam jari-jari-Nya serta membentangkannya, Akulah Raja”, sehingga saya melihat mimbar, bahagian bawahnya itu bergerak, sampai saya berkata : “Apakah mimbar itu akan menjatuhkan Rasulullah saw. ?”. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).

    Artinya :

    Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw bersabda diatas mimbar : “Allah Yang Maha Pemaksa itu mengambil langit dan bumi­bumi dengan kedua tangan-Nya dan menggenggam dengan tangan-Nya. Ia mulai menggenggam dan membentangkannya, kemudian berfirman : “Akulah Pemaksa, dimanakah para tukang paksa ? dimanakah orang-orang yang sombong?”. Rasulullah mencontohkan dengan tangan kanannya dan dengan tangan kirinya, sehingga saya melihat mimbar bergerak dari bahagian bawahnya, sampai aku berkata : “Apakah mimbar itu akan jatuh, wahai Rasulullah saw. ?”. (Hadits ditakhrij oleh Ibnu Majah).

    Artinya :

    Dari Ibnu Umar ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “Allah menggulung langit pada hari Qiamat, kemudian Ia mengambil dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah berfirman “Akulah Raja, dimanakah para tukang paksa ? Dimanakah orang-orang yang sombong ? Kemudian Dia menggulung bumi-bumi, kemudian mengambilnya. Ibnu ‘Ala’ berkata: “Dengan tanganNya yang lain lalu berfirman : “Akulah Raja, dimanakah para tukang paksa ? Dimanakah orang­-orang yang sombong?”. (Hadits ditakhrij oleh Abu Dawud).

    so, kalo bumi itu kecil -karena emang kecil- maka mana mungkin Allah ‘dapat’ berada di bumi?

    yup, sekarang yang ini nih.

    kalo Allah ‘dapat’ berada di segala tempat yg manusia enggak bisa berada di situ, ya jelas, itulah yg saya maksudkan.

    tapi sebelumnya saya akan tanya: “tempat mana yg manusia tak bisa berada di situ? saya jawab sendiri: “langit”. Allah maha tinggi, tinggi di atas semua makhluk-Nya sebab Allah punya sifat al ‘uluw(maha tinggi).

    sesuatu yang tinggi kan bisa berupa atap rumah, loteng, pesawat, bulan, dll? berarti Allah berada di situ? tidak!

    ini baru membicarakan sifat Allah bahwa Allah Maha Tinggi. nah, sekarang di manakah Allah sbenarnya?

    Tinggi di sini harus ada perinciannya. gak boleh semata2 langsung dicap bahwa karena Allah maha tinggi berrati Allah itu di langit, di genteng, di pesawat, dan di setiap tempat yg tinggi, Subhanallah bukan begitu.

    apa perinciannya? yup, Allah itu berada di atas semua makhluk-Nya, Allah BERADA DI ATAS ARSY, BERSEMAYAM DI ATAS ‘ARSY. begitulah yg telah diajarkan oleh islam, ada dalilnya.

    lantas gimana kok bisa Allah bersemayam, apakah bersemayamnya Allah dengan cara duduk, tiduran, atau yg lain,b ukankah ini seperti manusia saja?

    Banyak sekali ayat dan hadits serta ucapan ulama salaf yang menegaskan bahwa Allah berada dan bersemayam di atas.

    Firman Allah,
    “KepadaNyalah perkataan-perkataan yang baik naik dan amal yang shalih dinaikkanNya.” (Al-Faathir: 10)

    Firman Allah,
    “Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan.” (Al-Ma’aarij: 3-4)

    Firman Allah,
    “Sucikanlah Nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (Al-A’la:1)

    FirmanAllah,
    “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.” (Thaaha: 5).

    Dalam Kitab Tauhid, Imam Al-Bukhari menukil dari Abu Aliyah dan Mujahis tentang tafsir istawa, yaitu ‘ala wartafa’a (berada diatas).

    Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam berkhutbah pada hari Arafah, saat haji wada’, dengan menyerukan,
    “Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan?” Mereka menja-wab, “Ya, benar”. Lalu beliau mengangkat (menunjuk) dengan jari-jarinya ke atas, selanjutnya beliau mengarahkan jari-jarinya ke arah manusia seraya bersabda, “Ya Allah, saksikanlah.” (HR. Muslim).

    Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda,

    “Sesungguhnya Allah telah menulis suatu kitab (tulisan) sebelum Ia menjadikan makhluk (berupa), sesungguhnya rahmatKu men-dahului murkaKu, ia tertulis di sisiNya di atas ‘Arsy.” (HR. Al-Bukhari)

    Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam bersabda,

    “Apakah engkau tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit? Setiap pagi dan sore hari datang kepadaku kabar dari langit.” (Muttafaq Alaih)

    Al-Auza’i berkata, “Kami bersama banyak tabi’in berkata, ‘Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung sebutanNya (berada) di atas ‘Arsy, dan kami beriman pada sifat-sifatNya sebagaimana yang ter-dapat dalam sunnah Rasulullah’.” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad shahih)

    Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya Allah bersemayam di atas ‘Arsy langitNya. Ia mendekati makhlukNya sekehendakNya dan Allah turun ke langit dunia dengan sekehendakNya.”

    Imam Abu Hanifah berkata, “Barangsiapa mengatakan, ‘Aku tidak mengetahui apakah Tuhanku berada di langit atau bumi?’ maka dia telah kafir.” Sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
    “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.” (Thaha: 5)

    ‘Arsy Allah berada di atas tujuh langit. Jika seseorang berkata bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy, tetapi ia berkata, “Aku tidak tahu apakah ‘Arsy itu berada di atas langit atau di bumi?” Maka dia telah kafir. Sebab dia mengingkari bahwa ‘Arsy berada di atas langit. Barangsiapa mengingkari bahwa ‘Arsy berada di atas langit maka dia telah kafir, karena sesungguhnya Allah adalah paling tinggi di atas segala sesuatu yang tinggi. Dia dimohon dari tempat yang tertinggi, bukan dari tempat yang paling bawah.

    Imam Malik ditanya tentang cara istiwa’ (bersemayamnya Allah) di atas ‘ArsyNya, ia lalu menjawab, “lstiwa’ itu telah dipahami pengertiannya, sedang cara (visualisasinya) tidak diketahui, iman dengannya adalah wajib, dan pertanyaan tentangnya adalah bid’ah (maksudnya, tentang visualisasinya). Usirlah tukang bid’ah ini.

    Tidak boleh menafsirkan istiwa’ (bersemayam di atas) de-ngan istawla (menguasai), karena keterangan seperti itu tidak di-dapatkan dalam riwayat orang-orang salaf. Metode orang-orang salaf adalah lebih selamat, lebih ilmiah dan lebih bijaksana.

    Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang Yahudi agar mengatakan hiththa-tun (bebaskanlah kami dari dosa), tetapi mereka mengatakan hintha-tun (biji gandum) dengan niat membelokkan dan menyelewengkan-nya.

    Dan Allah memberitakan kepada kita bahwa Dia ‘Alal ‘arsyistaa “bersemayam di atas ‘Arsy”, tetapi para tukang takwil mengatakan istawlaa “menguasai”.

    Perhatikanlah, betapa persis penambahan “lam” yang mereka lakukan Istawaa menjadi Istawlaa dengan penambahan “nun” yang dilakukan oleh orang- orangYahudi “hiththatun” menjadi ” Hinthatun” (nukilan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyah).

    Di samping pentakwilan mereka dengan “istawla” merupakan pembelokan dan penyimpangan, pentakwilan itu juga memberikan asumsi (anggapan) bahwa Allah menguasai ‘Arsy dari orang yang menentang dan ingin merebutnya. Juga memberi asumsi bahwa ‘Arsy itu semula bukan milikNya, lalu Allah menguasai dan merebutnya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka takwilkan.

    wah, subhanallah. kesimpulannya, singkat aja seperti yang Pak Yari NK katakan terakhir tadi: Maha besar Allah yang jauh di atas keterbatasan2 manusia.

    Begitu…..
    yah, akal manusia emang terbatas, namun jika telah datang suatu dalil penetapan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy, sebagai seorang muslim kita harus beriman.

    gitu yap. assalamu’alaikum Pak..semoga sehat-selalu, amin.

    ____________________________

    Yari NK replies:

    Mungkin saja penafsirannya berbeda. Kalau saya pribadi saya tetap percaya bahwa Allah DAPAT berada di mana2 karena justru itulah yang membedakan Allah dari ciptaanNya. Karena Allah memang berbeda dari kita. Jikalau kita manusia menciptakan kertas, namun kita manusia tidak bisa masuk ke dalam kertas itu. Allah maha berbeda, Allah dapat memasuki atau berada di semua benda ciptaanNya karena kekuasaan Allah tidak terbatas.

    Nah, perkataan Allah DAPAT berada di mana2 bukan berarti merendahkan keagungan Allah. Karena di manapun Allah berada, baik di atas, di bawah, di kiri, di kanan, di tengah atau di dimensi di luar dimensi konvensional yang ada di ilmu Fisika, tidak akan mengurangi keagungan Allah. Karena tak ada satupun seseorang dan sesuatu hal yang mampu untuk merendahkanNya.

    Begitu yap. Wa’alaikum salaam wr wb…. mudah2an anda juga selalu berada dalam lindunganNya. Amin. 🙂

  26. setuju!

    _________________

    Yari NK replies:

    Apanya yang setuju nih?? 😀 Ini IP addressnya kok sama?? orangnya sama ya?? 😀

  27. assalamualaikum,
    lho bapak berkata: “…Jikalau kita manusia menciptakan kertas, namun kita manusia tidak bisa masuk ke dalam kertas itu. Allah maha berbeda, Allah dapat memasuki atau berada di semua benda ciptaanNya karena KEKUASAAN Allah tidak terbatas.”

    ya kan, apa kata saya, yang dimana2 itu KEKUASAAN ALLOH, betul? bukan WJUD DZAT ALLOH.

    trus, gini pak. kalo emang Allah dapat berada di semua benda ciptaanNya karena kekuasaan Allah tidak terbatas, maka gimana dong dengan keyakinan kristen bahwa Allah menjelma/menitis pada diri yesus/Isa? berarti betul?

    kan kita beragama islam, agama islam kan berbeda dengan agama kristen/nasrani…

    memang Allah tidak bisa direndahkan, kalo ada orang merendahkan/menghina Allah, maka tak jua sedikitpun menurunkan ‘harga diri’ Allah. justru yg menghinalah yang turun harga dirinya, kan begitu?

    namun, bukan berarti karena Allah tidak bisa direndahkan/diturunkan dg cara apapun, kita boleh dan diperbolehkan merendahkan Allah, kan begitu? karena itu dosa, meski hal tsb tdk pengaruh thd Allah…

    nah, pernyataan dan kenyataan yg mengatakan bahwa Allah itu dapat dimana2 merupakan contoh penghinaan kpd Allah. sudah dinyatakan dan diajarkan oleh islam bahwa Allah itu di atas Arsy, kalo ada yg menghina bahwa Allah itu dapat dimana2, ya jelas itu dosa, meski penghinaan kayak gitu sama sekali tak merobah keberadaan Allah yang maha tinggi di atas arsy menjadi berada di bawah, di kanan, di kiri, dll. kan begitu?

    ________________________________

    Yari NK replies:

    Wa’alaikum salaam wr wb.

    Justru itu….. sekali lagi saya tegaskan ada kata “DAPAT” dalam subkalimat “DAPAT berada di mana2” yang tentu berbeda dengan subkalimat “berada di mana2”, kata “DAPAT” itu berarti dengan kekuasaanNya Allah dapat berada di mana2, dan juga walaupun memang benar Allah berada di atas Arsy TIDAK MERUBAH kekuasaan Allah untuk DAPAT berada di mana-mana. Dan perkataan “DAPAT berada di mana2” itu menunjukkan bahwa di manapun Allah berada, tidak akan menurunkan derajad Allah, karena seperti yang telah sampaikan di atas kekuasaan dan keagungan Allah adalah mutlak dan tidak tergantung pada di mana Allah berada sesuai kehendakNya

    maka gimana dong dengan keyakinan kristen bahwa Allah menjelma/menitis pada diri yesus/Isa? berarti betul?

    Nah, ini yang namanya kesalahan dalam menggeneralisasi masalah, DAPAT berada di mana2 (sekali lagi!) tidak berarti ALLAH berada di mana2……Kalau kita menggunakan fikiran kita tentu dua hal tersebut JELAS merupakan dua hal yang berbeda dan lagipula manusia juga diberi akal untuk menentukan mana yang benar dan mana yang mustahil…. nah, dalam Allah menjelma menjadi Yesus, tentu merupakan suatu yang sangat “mustahil” jikalau kita menggunakan fikiran kita banyak hal2 yang mustahil bahwa Allah menjelma menjadi Yesus. Tentu akal kita ini juga berguna sebagai benteng agar kita dapat berfikir secara logis dan tidak tersesat. Untuk itulah Allah memberikan kita akal. Jadi sekali lagi kalau melakukan argumentasi jangan terlalu MENGGENERALISASIKAN sebuah masalah harus dilihat secara detail dulu sebelum menggeneralisasikan sebuah masalah.

    Nah, sekarang saya ingin bertanya satu hal kepada anda:

    “Apakah anda meragukan KEKUASAAN ALLAH untuk dapat berada di mana2 sesuai dengan kehendakNya?”

    Mohon jawab “Ya” dan “Tidak”, kalau bisa tanpa ‘tetapi’ karena ‘tetapi’ itu melambangkan keraguan atau biasanya kalau ada ‘tetapi’ belakangnya pasti cuma panjang lebar yang tidak menyentuh akar masalah. Ok? 🙂

  28. assalamualaikum…
    maaf pak, tadi dah bikin koment, eh gak tahunya komputer macet, gak bisa ngesave koment tsb, yah jadinya restart aja lah…
    mungkin besok koment saya akan saya kirim ke sini, tunggu yap!

    _________________________________

    Yari NK replies:

    Ok, take it easy! Lain kali di-copy dulu sebelum di-submit, biar kalau macet mau ditulis lagi tinggal di-paste saja. 😉

  29. Assalaamu’alaikum wr wb
    Saya paham dari awal apa perbedaan antara kalimat “Allah DAPAT berada dimana-mana” dengan penyataan “Allah berada dimana-mana”. Kedua pernyataan tersebut tidak sama dan tidak boleh disamakan, kalo disamakan kerusakan dan ke’nyelenehan’lah yang mau tidak mau pasti terjadi, bukankah demikian? Terimaksih sebelum dan sesudahnya atas penjelasan bapak akan masalah ini. penjelasan bapak akan masalah yg satu ini sungguh berarti bagi saya pribadi.

    Nah, Sudah saya paparkan banyak dalil yg menyatakan bahwa Allah berada di atas Arsy, bersemayam di atas arsy dan Allah Maha tinggi di atas seluruh makhluk-Nya.

    Satu yang ingin saya kutip kembali: “…Al-Auza’i berkata, “Kami bersama banyak tabi’in berkata, ‘Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung sebutanNya (berada) di atas ‘Arsy, dan kami beriman pada sifat-sifatNya sebagaimana yang ter-dapat dalam sunnah Rasulullah’.” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad shahih)….”

    Saya katakan: “inilah aqidah islam bahwasanya Allah berada di atas Arsy. Kita harus yakin dan mengimaninya.”

    Namun ternyata bapak berkata: “….Mungkin saja penafsirannya berbeda(???-red). Kalau saya pribadi saya tetap percaya bahwa Allah DAPAT berada di mana2 karena justru itulah yang membedakan Allah dari ciptaanNya…”

    Maksudnya bagaimana tho pak? Penafsirannya berbeda? Justru itulah penafsirannya yang jelas, gamblang dan shahih. Bapak meragukannya? Atau bapak punya penafsiran ‘tersendiri’?

    Bapak juga berkata: “…dan juga walaupun memang benar Allah berada di atas Arsy (tetapi-red) TIDAK MERUBAH kekuasaan Allah untuk DAPAT berada di mana-mana…”

    Dari sinilah saya bisa menangkap sebuah simpulan besar bahwa bapak pada hakikatnya telah mengatakan bahwasanya: Meski Allah berada di atas Arsy namun bukan berarti Allah tidak DAPAT berada selain di atas Arsy. Bukankah begitu?

    Jadi, menurut pandangan bapak Allah itu DAPAT berada dimana-mana, Allah tidak ‘hanya’ berada di atas Arsy saja, namun dengan sebab Allah Maha Kuasa maka sudah barang tentu Allah DAPAT berada dimana2 sesuai kehendak-Nya. Itu pandangan bapak kan? Gitu kan? Gitu kan? Ehm salahkah?

    Kalau ditanya: “Salahkah?” Tentu tidak semudah itu juga saya vonis salah. Perlu diketahui, ini merupakan pernyataan yang timbul dari pandangan yang masih umum. Allah DAPAT berada dimana-mana merupakan pernyataan yang masih umum. Memang, Allah DAPAT berada dimana2 sesuai kehendak-Nya. Maka, seperti yang telah lalu saya katakan: “….kalo Allah DAPAT berada di segala tempat yg manusia enggak bisa berada di situ, ya jelas, itulah yg saya maksudkan. tapi sebelumnya saya akan Tanya: “tempat mana yg manusia tak bisa berada di situ? saya jawab sendiri: “langit”. Allah maha tinggi, tinggi di atas semua makhluk-Nya sebab Allah punya sifat al ‘uluw(maha tinggi). sesuatu yang tinggi kan bisa berupa atap rumah, loteng, pesawat, bulan, dll? berarti Allah berada di situ? tidak!…”

    Nah, Ironisnya, pernyataan yang masih umum ini bapak pakai. Yang seharusnya bapak tinggalkan ‘malah’ bapak pakai. Yang seharusnya bapak ‘khususkan’ malah tetap dibiarkan ‘umum’. Jadi, inilah kesalahan pada bapak dalam menafsirkan “Allah DAPAT berada dimana2.” Sehingga Bapak pun otomatis salah dalam menafsirkan “Allah berada di atas arsy”

    Saya paham maksud bapak, bapak bermaksud menafsirkan sebuah pernyataan dan kenyataan bahwa Allah berada di atas arsy, namun sayangnya bapak terjatuh dalam kekeliruan dalam masalah di atas itu. Kekeliruan dalam masalah memahami arti dibalik penyataan dan kenyataan bahwa Allah DAPAT berada dimana2. Buktinya? Bapak mengatakan: “…walaupun memang benar Allah berada di atas Arsy (tetapi-red)TIDAK MERUBAH kekuasaan Allah untuk DAPAT berada di mana-mana (???!!!-red). Dan perkataan “DAPAT berada di mana2″ itu menunjukkan bahwa di manapun Allah berada, tidak akan menurunkan derajad Allah, karena seperti yang telah sampaikan di atas kekuasaan dan keagungan Allah adalah mutlak dan tidak tergantung pada di mana Allah berada sesuai kehendakNya…”

    Ya, inilah kesalahannya, kesalahan yang jelas sekali (menurut saya), saya katakan begitu. Harusnya gimana dong biar bener? Ya kita khususkan pernyataan dan kenyataan “Allah DAPAT berada dimana2.” Itu! Lalu bagaimana cara mengkhususkannya?

    Nah, Saya belum akan menjawab pertanyaan retoris bapak(ah, sebenernya gak usah dijawab juga udah tahu jawabannya, namanya aja retoris): “Apakah anda meragukan KEKUASAAN ALLAH untuk dapat berada di mana2 sesuai dengan kehendakNya?” sebelum saya jelaskan sedikit ‘ilmu yang saya punya berkaitan masalah khusus pengkhususan yang satu ini.

    Baiklah, memang Allah Maha Kuasa, kekuasaan Allah adalah mutlak, mutlak tidak terbatas ataupun tergantung oleh ruang lingkup waktu maupun tempat. Allah maha kuasa atas segala sesuatu, tidak ada yang sanggup mengelaknya. Allah Kuasa untuk menghidupkan dan mematikan makhluk-Nya, bahkan Allah Maha Kuasa memindahkan matahari dari barat ke timur, Subhanallah!

    Allah Maha Kuasa, demikian juga Allah Maha Berkehendak. Semua itu mudah bagi Allah. Sehingga, singkat saja, Allah DAPAT berada dimana2 ya karena Allah Maha Kuasa dan Maha berkehendak.

    Namun, Cukupkah sampai di sini? Belum ternyata dan belum tentunya. Sebab jikalau ada orang mengatakan: “Allah kan DAPAT berada dimana2 sesuai kehendak-Nya, ya udah berarti kalo Alah berkehendak ‘mampir’ ke rumahku maka Allah DAPAT berada di rumahku dong??!…” berarti benar dan bisa dibenarkan?! Nah, inilah akibat semata-mata menggunakan akal/logika/pikiran/opini,dsb dalam beragama tanpa mengambil dalil-dalil yang tegas dan jelas. Ngomong-ngomong apa yang bakal bapak katakan pada orang kayak gitu kalo sudah ‘kebanjur’ begitu??

    Oleh sebab itu, tidak bisa digeneralisir mentang-mentang Allah itu Kuasa dan Berkehendak trus ‘memainkan’ seenaknya saja, dengan kata lain trus dipukul rata saja. “Allah kan DAPAT berada dimana-mana asal Allah berkehendak, ya udah kalo seandainya Allah berkehendak untuk berada di bumi bisa dong yaa??!”

    Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya Allah bersemayam di atas ‘Arsy langit-Nya. Ia mendekati makhluk-Nya sekehendak-Nya (1) dan Allah turun ke langit dunia dengan sekehendak-Nya.(2)”

    Nah, seperti itulah seharusnya. Itulah pernyataan dan kenyataan yang sudah bisa dipahami dengan mantap berdasarkan dalil. **Khususkanlah jangan biarkan perkataan indah kayak gitu tetap umum. Khususkanlah berdasarkan dalil alquran was sunnah ‘ala fahmis salaf! Agar kita tidak tersesat.**

    Sekali lagi, saya ucapkan terimakasih kepada bapak atas argument2 bapak, yang sesungguhnya argument bapak tersebut juga saya terima, namun setidaknya ada beberapa point yg perlu digarisbawahi, saya berharap bapak pun sudi menerima argument saya ini yang insyaAllah saya dasarkan pada dalil2 shahih.

    Saya katakan: “Darimana bapak tahu bahwa kekuasaan Allah itu memutlakkan segala tempat DAPAT Allah tempati? Kita semua, sayapun termasuk di dalamnya, sama sekali tidak tahu bahkan terlarang berkata-kata sesuatu tentang Allah tanpa ilmu. Mengatakan Allah DAPAT berada dimana2 –meski yang ngatain udah gembor-gembornya menyanggah hal ini tidak sama dengan perkataan Allah dimana2-, hal itu tetaplah termasuk perbuatan tercela. Jikalau bapak mengatakan kayak begini, ya sudah sama saja antara bapak mengatakan Allah DAPAT berada dimana2 dengan Allah berada dimana2!! Hal ini kalo emang bapak enggak mau ‘mengkhususkan’ pernyataan dan kenyataan yang masih umum itu”

    Mangkanya, metode perincian wajib dipakai, kudu dilakukan biar kita enggak salah paham.

    Allah Maha Kuasa, sehingga apabila Allah berkehendak ya pasti terjadi sebab Allah Maha Kuasa. Namun tidak setiap yang Allah Kuasai, Allah berkehendak untuknya. Contoh dalam prakteknya begini, Allah itu Kuasa untuk DAPAT berada di bumi, namun kekuasaan saja belum tentu terjadi jikalau Allah tidak berkehendak. Kan begitu?? kenapa bisa begitu? ya itu karena Allah tidak berkehendak untuk berada di bumi meski Allah Kuasa untuknya. Apakah bapak mempercayai bahwa Allah berkehendak untuk berada di bumi? Jika mempercayainya, mana dalilnya? Kan begitu?

    Andaikata bapak mengatakan: “saya tidak meragukan KEKUASAAN ALLAH untuk dapat berada di mana2 sesuai dengan kehendakNya, sehingga otomatis sayapun tidak tahu di mana sesungguhnya Allah itu berada (secara persisnya). Justru saya meyakini bahwa Allah DAPAT berada dimana2 selama tempat tersebut layak bagi keberadaan Allah. Karena Allah DAPAT berada dimana2, ya jadi otomatis bisa dipahami bahwa Allah tidak mesti cuman berada di atas arsy saja. Yang jelas dan yang terpenting, saya yakin bahwa karena Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, ya dimanapun Allah berada, itu terserah Allah..toh saya tetap meyakini bahwa Allah itu ada…bla bla bla” (maaf Pak, ini semua hanya pengandaian saja kok, saya berharap bapak jauh dari sikap seperti itu, amin)

    Bukti praduga saya itu ini Pak. Waktu saya ngatain: “maka gimana dong dengan keyakinan kristen bahwa Allah menjelma/menitis pada diri yesus/Isa? berarti betul?” Bapak pun menjawabnya: “……Kalau kita menggunakan fikiran kita tentu dua hal tersebut JELAS merupakan dua hal yang berbeda dan lagipula manusia juga diberi akal untuk menentukan mana yang benar dan mana yang mustahil…. nah, dalam Allah menjelma menjadi Yesus, tentu merupakan suatu yang sangat “mustahil” jikalau kita menggunakan fikiran kita banyak hal2 yang mustahil bahwa Allah menjelma menjadi Yesus..” ya kan? Apa kata saya? Perkataan bapak di atas menunjukkan bahwa bapak ternyata malah mempercayai Allah DAPAT berada dimana2 selama tempat tersebut layak bagi keberadaan Allah. Saya katakan: “Padahal tidak semua tempat yang manusia pandang ‘layak’ buat Allah itu layak bagi Allah! Bahkan salahlah bagi mereka yang mengatakan sesuatu terhadap Allah tanpa ilmu dan burhan yang jelas adanya. Itu namanya mengada-ngada dalam masalah agama tanpa dalil”

    Toh perkataan bahwa Allah DAPAT berada dimana2 merupakan sebuah prasangka, merupakan sebuah ketidakjelasan, dan sebuah pendapat manusia yang tidak berdasar wahyu Ilahi. Bolehlah kalo saya berkata: “Dimana dong Allah itu sebenarnya??” “dimana saja Allah DAPAT berada??” ini konsekuensi batil, yang Allah jauh dari itu semua, subhanallah!

    Kalaupun bapak menjawab: “Oh, itu bukan urusan manusia, Allah DAPAT berada dimana2 manusia enggak tahu dan enggak diberi pengetahuan ttgnya, itu Wallahu a’lam saja, hanya Allah yg tahu dimana Allah DAPAT berada…”

    Wah, kalau begini, jelas menyalahi semua dalil alquran was sunnah ‘alaa fahmis salaf. Ini bukan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah.

    Imam Abu Hanifah berkata, “Barangsiapa mengatakan, ‘Aku tidak mengetahui apakah Tuhanku berada di langit atau bumi?’ maka dia telah kafir.” Sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
    “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.” (Thaha: 5)

    ‘Arsy Allah berada di atas tujuh langit. Jika seseorang berkata bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy, tetapi ia berkata, “Aku tidak tahu apakah ‘Arsy itu berada di atas langit atau di bumi?” Maka dia telah kafir. Sebab dia mengingkari bahwa ‘Arsy berada di atas langit. Barangsiapa mengingkari bahwa ‘Arsy berada di atas langit maka dia telah kafir, karena sesungguhnya Allah adalah paling tinggi di atas segala sesuatu yang tinggi. Dia dimohon dari tempat yang tertinggi, bukan dari tempat yang paling bawah.

    Imam Malik ditanya tentang cara istiwa’ (bersemayamnya Allah) di atas ‘ArsyNya, ia lalu menjawab, “lstiwa’ itu telah dipahami pengertiannya, sedang cara (visualisasinya) tidak diketahui, iman dengannya adalah wajib, dan pertanyaan tentangnya adalah bid’ah (maksudnya, tentang visualisasinya). Usirlah tukang bid’ah ini.

    Mohon maaf saya kutip potongan artikel di atas, di sana tertulis: “…Allah dapat berada dimana-mana (omnipresent)…” Sekali lagi (ah, udah berkali-kali, kali yaa..) ini jelas maksud bapak adalah tiada lain Allah DAPAT berada selain di atas Arsy, keluar dari singgasana-Nya dg tanpa dalil dan ini menyalahi nash yang sharih lagi shahih. Hal ini dibuktikan dg potongan kutipan berikutnya pada paragraf terakhir dari artikel tersebut: “…bahkan keberadaan Allah swt dapat lebih dekat dari urat nadi kita sendiri!” nah yang satu ini WAJIB kembali kepada alquran was sunnah dg pemahaman Rasulullah dan para shahabatnya, apa sih maksud Allah swt dapat lebih dekat dari urat nadi kita sendiri… tentu saja penafsirannya tidak seperti yg kebanyakan disangka banyak orang bahwa Allah berada/menempel pada urat nadi,… Bukan seperti itu! Dan di sini saya enggak akan membahas masalah itu, sebab nanti seperti yg bapak katakan: “…pasti cuma panjang lebar yang tidak menyentuh akar masalah….”wua haaa haaa haaa kehh…kehh…kehh..

    Yakin deh, … Katakan saja bahwa yang dimana2 itu KEKUASAAN ALLAH bukan WUJUD DZAT ALLAH (seperti yg telah lalu-red), meskipun hanya dikatakan DAPAT berada dimana2, bukan dikatakan berada dimana2, namun hal ini tentu tak ada bedanya. Nah di sinilah fungsi dari penetapan bahwa Allah itu (hanya-red) berada di atas Arsy, dan itulah yang sesuai dengan Keagungan dan Kekuasaan Allah.
    Sudah jelas kiranya, tinggal kita mengimaninya dengan penafsiran yang shahih, tidak menyangkut-pautkan dg akal yang kacau, kaitkanlah dg akal yang sehat, niscaya akan selamat..insya Allah.

    Katakan saja: “Kita tidak betul-betul sedang sendiri, ada Allah yang senantiasa bersama kita. Allah maha melihat, mengetahui rahasia-rahasia, dan mengamati apa saja yang dikerjakan oleh setiap jiwa. Kita malu pada Yang Maha Melihat.” Perkataan inilah yang diperintahkan, Allah bersama kita bukan berarti karena Allah bersama kita lantas dinyatakan bahwa Allah berada dekat dengan kita. Bukan demikian. Jikalau kita berjalan di suatu malam bulan purnama, kita lihat bulan itu seakan-akan berjalan mengikuti perjalanan kita, bulan itu terasa dekat oleh kita, namun apakah bisa dikatakan bulan tersebut berada dekat dengan kita dalam artian dekat sedekat2nya? Tidak demikian kan? Apalagi Allah Yang Maha Agung, Allah tetap bersama kita meski bukan artinya Allah dekat sedekat2nya, apalagi kalo sampai dikatakan Allah DAPAT berada dimana2! Taruhlah Allah DAPAT berada dimana2, dalam tanda kutip, maka kalo Allah berkehendak untuk berada di rumah saya gimana?? Berarti Allah amat dekat sedekat2nya dong dengan saya?? Padahal dalam islam yang benar bukan begitu. Allah Maha Dekat artinya bukan dekat kayak gitu, kan begitu? Jadi jelaslah, perkataan Allah DAPAT berada dimana2 kalo enggak dirombak diperinci akan menuai berbagai kontra yang mendalam.

    Jadi sekali lagi kalau kita melakukan argumentasi harus memakai akal yang jernih yang didasarkan di atas dalil yang shahih. Sebab Allah mengaruniakan kita akal supaya akal itu tunduk pada dalil, bukan akal menyetir dalil. Akal yang jernih ya itulah akal yang mengikuti dalil.

    Nah, sekarang saya ingin bertanya satu hal kepada bapak (gak usah dijawab ga pa pa):

    “Apakah bapak meragukan Allah berada di atas arsy?”
    saya bertanya seperti itu untuk mengecek, sebab apabila seseorang telah keliru dalam perkara yang amat basal ini berabe jadinya…

    jadi iqra’lah, berilmulah dalam beramal dan berdakwah!

    Semoga bapak tidak menjawab koment saya ini dengan: “…WAJIB dibedakan antara DAPAT berada dimana2 dg berada dimana2…” sebab saya tahu dan sudah paham apa itu.. saya yakin bapak adalah seorang muslim yang lurus, seorang yang beraqidah shahihah seperti yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atas jalan tersebut, dan saya yakin bapak terlampau jauh dari keyakinan wihdatul wujud/manunggaling kawula Gusti. OK! Itu yang terpenting.

    Saya cukupkan sekian…
    Sampai Jumpa…
    Mohon maaf jikalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati bapak, karena saya hanyalah manusia biasa yang tak terlepas dari lupa dan salah, semoga Allah memberkahi kita semua di atas islam, amin..

    Wassalamu’alaikum wr wb.
    Saudaramu seiman (your family in Islam)

    Maula Luthfi
    (bocah 15 tahun dg tinggi 165 cm, santri SMA pondok pesantren bermanhaj salaf Imam Bukhori di kota Karanganyar, Solo) maula.luthfi@yahoo.com

  30. Berbicara tentang sifat Allah tak pernah lepas dari sisi aqidah seorang muslim. Muslim yang baik akan berpasrah dengan ketetapan yang diberikan oleh Allah.
    Tak pelak, kepatuhan dan sikap penerimaan ini berlaku dalam setiap sisi syariat. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan sifat Rahmat bagi diri-Nya, itu juga yang mesti terpatri dalam diri bahwa memang Allah memiliki sifat Rahmat. Ini berlaku untuk semua sifat Allah. Terus bagaimana kita bisa mengenal sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala? Jawabnya, tentu dengan membaca dan memperhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala itu sendiri. Bagaimana sebenarnya konteks Al Qur’an berbicara tentang sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala.

    Di sini, akan kita sibak sedikit tentang permasalah salah satu sifat Allah, yakni Maha Tinggi. Bagaimana sebenarnya Al Quran meninjaunya? Bagimana pula penafsiran yang tepat dalam ayat yang bertalian erat dengan sifat Allah yang satu ini? Silahkan menyimak!
    Sebenarnya, ketinggian Allah subhanahu wa ta’ala telah dilansir dengan jelas di dalam ayat-ayat Al Qur’an. Dan sejatinya penjelasan Kalamullah ini lebih dari memadai bagi kita yang mau sedikit saja berpikir akan keberadaan Allah. Karena di delapan tempat pada surat yang berbeda Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan tentang keberadaanya;

    1. Surat Al-A’la : 1
    “Sucikan nama Rabbmu Yang Paling Tinggi.”
    Ayat di atas merupakan dalil yang jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas semua makhluknya. Pun kita diperintah untuk berucap subhäna rabbiyal a’lä [Maha suci rabbku yang Maha Tinggi] pada saat sujud. Tak lain ini merupakan manifestasi pengakuan atas ketinggian Allah subhanahu wa ta’ala.

    2. Surat Al-Baqarah : 255ُ

    “… dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
    Imam At Thabari menjelaskan tentang nama Allah subhanahu wa ta’ala [Al Aliyyu], “Dia yang mempunyai ketinggian atas segala sesuatu dan semua berada di bawah-Nya.”
    Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi memaparkan, “Penetapan makna ketinggian ini semata-mata mengandung penetapan ketinggian secara mutlak dari segi bentuk. Bagi-Nya seluruh kesucian, ketinggian, kekuasaan, kemampuan dan ketinggian Dzat. Barangsiapa menetapkan sebagian sifat-Nya dan menafikan sebagian sifat-Nya yang lain, sungguh dia telah merendahkan Allah subhanahu wa ta’ala.”

    3. Surat An Nahl : 50
    “Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”
    Dalam menafsiri ayat mulia ini, Ibnu Katsir mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala mengkhabarkan tentang keagungan dan kebesaran serta kesombongan-Nya yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya. Semua makhluk, baik yang hidup ataupun mati, baik yang mukalaf (makhluk yang dibebani syariat yaitu manusia dan jin) maupun malaikat, baik yang mempunyai bayangan yang menaungi kanan maupun kirinya, mereka sesungguhnya bersujud kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
    Sedangkan Usamah bin Taufiq Al Qashas menjelaskan, “Aku tidak menduga seorang pun yang mempunyai pengetahuan bahasa Arab yang tidak mengetahui apa yang terkandung dalam ayat ini berupa penetapan ketinggian Allah subhanahu wa ta’ala, karena dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan para malaikat yang takut kepada rabb yang berada di atas mereka. Sedangkan para malaikat itu berada di langit dan di atas kita, dan di atas mereka adalah Rabbul ‘Izah.”

    4. Surat Al Mulk : 16
    “Apakah kalian merasa aman terhadap Allah subhanahu wa ta’ala yang berada di langit..”
    Ayat ini menandakan ketinggian dan keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala serta menutup jalan untuk menghilangkan dan meniadakan sifat Allah ataupun mengubah makna dari lafadz dhahirnya. Ayat ini juga menjadi menjadi penegas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala di atas langit sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya.

    5. Surat Fathir : 10
    “…kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya…”
    Berkaitan dengan ayat tersebut Rasulullah n bersabda, “Sesungguhnya pada waktu itu dibuka pintu-pintu langit, maka aku suka amal-amal shalihku naik pada saat ini.” (Riwayat At Tirmidzi dan Ahmad).
    Hadits ini menjadi dalil yang gamblang tentang naiknya perkataan secara hakekat dengan sabdanya “pada waktu itu dibuka pintu-pintu langit”. Maka mengapa pintu langit dibuka? Bukankah karena naiknya perkataan tersebut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam ketinggian-Nya? Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam An Nawawi v.

    6. Surat Al-Ma’arij : 4
    “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya (Rabbnya) dalam sehari yang ukurannya limapuluh ribu tahun.”
    Imam At Thabari mengatakan bahwa para malaikat dan ruh (yaitu Jibril) naik kepada-Nya yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, maka jelaslah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar berada dalam ketinggian.

    7. Surat Al-A’raf : 54
    “Sesungguhnya Rabb kalian adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy.”
    “Tak seorang pun dari salafus shalih mengingkari bahwa bersemayam-Nya Allah l di atas Arsy-Nya itu secara hakikat dan pengkhususan Arsy-Nya dengan bersemayam-Nya karena Arsy adalah makhluk-Nya yang paling besar.
    Ibnu Jarir dalam Sharihus Sunnah berkata, “Dan cukuplah seseorang mengetahui bahwa Rabb-Nya bersemayam di atas Arsy-Nya. Barangsiapa yang memahami selain yang demikian sungguh dia telah gagal dan merugi.”

    8. Surat Fushilat : 2
    “Diturunkan dari (Tuhanmu) Yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
    Di dalam tafsir As Samarqindi disebutkan makna tanzil adalah Jibril turun dengan membawa Al Qur’an. Kita sendiri tahu bahwa perbuatan turun adalah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
    Dari berbagi ayat yang telah disebutkan di atas, nyatalah bahwa Allah berada di atas langit. Statemen yang mengatakan bahwa Allah berada di mana-mana, termasuk menyatu ditubuh makhul adalah pendapat yang membutuhkan dalil baik dari Kitabullah sendiri, Sunnah Nabi n maupun penguat lain yang mu’tabar(Terakui keabsahannya)(*)
    (www.majalah-elfata.com)

    _______________________________________________

    Yari NK replies:

    Wa’alaikum salaam wr wb.

    Maaf, anda menjelaskan panjang2, tapi anda TIDAK menjawab pertanyaan saya. Anda malah berputar2 dan bertanya kembali yang sebenarnya sudah jelas. Pernyataan saya:

    dan juga walaupun memang benar Allah berada di atas Arsy TIDAK MERUBAH kekuasaan Allah untuk DAPAT berada di mana-mana.

    Ini sudah jelas, maksudnya adalah “ALLAH berada di atas Arsy dan juga karena kemahakuasaanNya Allah DAPAT berada di mana2”.

    Nah, sekarang pertanyaan saya yang belum anda jawab: “Apakah anda meragukan KEKUASAAN ALLAH untuk dapat berada di mana2 sesuai dengan kehendakNya?” Harap jawab dengan YA dan TIDAK. Jawaban anda panjang tapi maaf tidak fokus dan hanya memutar2 saja. Jikalau kita berargumentasi yang pertama diingat adalah kita harus menjawab lawan argumentator kita sesuai dengan diminta. Ok??

    Jadi jawab dulu pertanyaan saya itu. Ingat, meragukan kemahakuasaan Allah adalah juga berdosa. 😉

  31. Membongkar Kedok Sufi : Beraqidah Sesat
    Penulis: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 30/II/I/1425
    Firqoh-Firqoh, 28 Mei 2005, 15:12:48
    Tak jauh beda dengan keadaan syi’ah Rafidhah, kaum Sufi – yang sebenarnya masih memiliki keterkaitan akidah dengan mereka – pun mengusung berbagai jenis kesesatan dan kekufuran, sebagai bahaya laten ditubuh kaum muslimin. Bahkan disaat kaum muslimin tidak lagi memperhatikan agamanya, muncullah mereka sebagai kekuatan spiritual yang mengerikan. Sehingga mereka tak segan-segan lagi menampilkan wacana kekufurannya ditengah-tengah kaum muslimin.

    Puncak kekufuran yang terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau akidah bahwa siapa saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia akan sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah). Sehingga ia memiliki sifat-sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir ia bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah. Maha suci Allah dari apa yang mereka yakini!!. Akidah ini populer di tengah masyarakat kita dengan istilah manunggaling kawula gusti.

    Adapun munculnya akidah rusak ini bukanlah sesuatu yang baru lagi di jaman sekarang ini dan bukan pula isapan jempol dan tuduhan semata.

    Bukti Bukti Nyata Tentang Akidah Manunggaling Kawula Gusti Di Tubuh Kaum Sufi
    Hal ini dapat dilihat dari ucapan para tokoh legendaris dan pendahulu sufi seperti Al Hallaj, Ibnul Faridh, Ibnu Sabi’in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam karya-karya mereka. Cukuplah dengan ini sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti tadi.

    1. Al Hallaj berkata:

    “Maha suci Dia yang telah menampakkan sifat naasuut (insaniyah)-Nya lalu muncullah kami sebagai laahuut (ilahiyah)-Nya
    Kemudian Dia menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam wujud orang yang makan dan minum
    Sehingga makhluk-Nya dapat melihat-Nya dengan jelas seperti pandangan mata dengan pandangan mata” (Ath Thawaasin hal. 129)

    “Aku adalah Engkau (Allah) tanpa adanya keraguan lagi
    Maha suci Engkau Maha suci aku Mengesakan Engkau berarti mengesakan aku
    Kemaksiatan kepada-MU adalah kemaksiatan kepadaku
    Marah-Mu adalah marahku Pengampunan-Mu adalah pengampunanku “
    (Diwanul Hallaj hal. 82)

    “Kami adalah dua ruh yang menitis jadi satu
    Jika engkau melihatku berarti engkau melihat-Nya
    Dan jika engkau melihat-Nya berarti yang engkau lihat adalah kami” (Ath Thawaasin hal. 34)

    2. Ibnu Faridh berkata dalam syairnya:

    Tidak ada shalat kecuali hanya untukku
    Dan shalatku dalam setiap raka’at bukanlah untuk selainku. (Tanbih Al Ghabi fi Takfir Ibnu Arabi hal. 64)

    3. Abu Yazid Al Busthami berkata:
    ”Paling sempurnanya sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma’rifat adalah adanya sifat-sifat Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada dirinya.” (An Nuur Min Kalimati Abi Thaifut hal. 106 karya Abul Fadhl Al Falaki)
    Maka diapun mengungkapkan keheranannya dengan berujar: “Aku heran kepada orang-orang yang mengaku mengenal Allah, bagaimana mereka bisa beribadah kepada-Nya?!

    Lebih daripada itu, dia menuturkan pula akidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang dan mengetuk rumahnya. Dia bertanya: “Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: “Abu Yazid.” Diapun berkata: “Pergi! Tidaklah yang ada di rumah ini kecuali Allah.” (An Nuur hal. 84)
    Pada hal. 110 dia pernah ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: “Sifat Allah telah dimiliki oleh seorang hamba”.

    Akidah Manunggaling Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak yaitu wihdatul wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak ada dzat lain yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat Allah.

    Ibnu Arabi berkata:

    Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada
    Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat?
    Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati
    Atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat? (Fushulul Hikam hal. 90)

    Penyair sufi bernama Muhammad Baharuddin Al Baithar berkata: “Anjing dan babi tidak lain adalah Tuhan kami Allah itu hanyalah pendeta yang ada di gereja” (Suufiyat hal. 27)

    Dalil-Dalil Yang Dijadikan Kaum Sufi Sebagai Penopang Akidah Manunggaling Kawula Gusti

    Sepintas, seorang awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini – tentunya menurut sangkaan mereka?!
    Mampukah orang tersebut membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah digiring kepada pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut? Dali-dalil tersebut adalah:
    1. Surat Al Hadid 5 :
    وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
    yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.”
    2. Surat Qaaf 16 :
    وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
    yang artinya: “Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri.
    3. Sabda Rasulullah dalam hadits Qudsi: “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang dia berjalan dengannya. (H.R. Al Bukhari)

    Bantahan Terhadap Syubhat (Kerancuan Berfikir) Mereka Dalam Mengambil Dalil-Dalil diatas

    Dengan mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah di bawah bimbingan para ulama terpercaya, maka kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih daripada sarang laba-laba yang sangat rapuh.
    1. Tentang firman Allah di dalam surat Al Hadid 5, para ulama telah bersepakat bahwa kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu Allah meliputi keberadaan mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka. Al Imam Ath Thilmanki rahimahullah berkata: “Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa makna firman Allah yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada” adalah ilmu-Nya. (Dar’ut Ta’arudh 6/250)
    2. Yang dimaksud dengan lafadz “kami” di dalam surat Qaaf: 16 tersebut adalah para malaikat pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat setelahnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki dan Al Baghawi memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz “lebih dekat” adalah ilmu dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya sendiri.
    3. Al Imam Ath Thufi ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan bahwa ulama telah bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud. (Fathul Bari)
    Bahkan Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa barangsiapa mengarahkan pembicaraannya di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari itu. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 523-524 bersama Iqadhul Himam)

    Beberapa Ucapan Batil Yang Terkait Erat Dengan Akidah Ini

    1. Dzat Allah ada dimana-mana. Ucapan ini sering dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya: “Dimana Allah berada?” Maka sesungguhnya jawaban ini telah menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah serta kesepakatan Salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat maka dia telah menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan Salaf. Bersamaan dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan bagi hamba-hambanya. (Majmu’ Fatawa 5/125)
    2. Dzat Allah ada di setiap hati seorang hamba.
    Ini adalah jawaban yang tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya tentang keberadaan Allah. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) juga berkata; “Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu (Salaf) umat ini yang berkata seperti itu. Tidak pula Al Qur’an ataupun As Sunnah, bahkan Al Qur’an, As Sunnah, kesepakatan Salaf dan akal yang bersih justru bertentangan dengam keyakinan tersebut. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal 375)

    Beberapa Ayat Al Qur’an Yang Membantah Akidah Manunggaling Kawula Gusti

    Ayat-ayat Al Qur’an secara gamblang menegaskan bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar batil. Allah ta’ala berfirman :
    وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ
    artinya : “Dan mereka (orang-orang musyrikin) menjadikan sebagian hamba-hamba Allah sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.” (Az Zukhruf: 15)

    فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
    “Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri yang berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak yang berpasang-pasangan (pula), Dia jadikan kamu berkembangbiak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asy Syura: 11)

    Lihatlah, ketika Allah menjawab permintaan Musa yang ingin melihat langsung wujud Allah di dunia. Allah pun berfirman :
    قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ “
    (artinya) : “Kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu, tatkala ia tetap ditempat itu niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhan menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun pingsan. Setelah sadar Musa berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Al A’raf: 143)

    (Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 30/II/I/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli ” Tasawuf Dan Aqidah Manunggaling Kawula Gusti”. Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)

  32. Oleh
    Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

    Pertanyaan
    Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya teringat sebuah kisah di salah satu stasiun radio saat salah seorang anak bertanya kepada ayahnya tentang Allah, lalu sang ayah menjawab bahwa Allah berada di setiap tempat (di mana-mana). Pertanyaan yang ingin saya ajkan, “Bagaimana hukum syari’at terhadap jawaban yang seperti ini?

    Jawaban
    Ini alah jawaban yang batil dan termasuk ucapan ahli bid’ah seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah dan roang-orang yang sejalan dengan madzhab mereka..

    Jawaban yang tepat dan sesuai dengan manhaj Ahlus Sunah wal Jama’ah adalah bahwa Allah Ta’ala berada di langit, di Arasy, di atas seluruh makhluk-Nya dan ilmu-Nya meliputi semua tempat sebagaimana yang di dukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi dan ijma ulama Salaf. Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman

    “Artinya : Sesungguhnya Rabb, kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa , lalu Dia bersemayam di atas Arsy” [Al-A’raf : 54]

    Hal ini ditegaskan oleh Allah dengan mengulang-ulangnya dalam enam ayat yang lain dalam kitab-Nya.

    Makna istiwa menurut Ahlus Sunnah adalah tinggi dan naik di atas Arasy sesuai dengan keagungan Allah Ta’ala, tidak ada yang mengetahui caranya selan-Nya. Hal ini sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini.

    “(Yang namanya) Istiwa itu sudah dimaklumi sedangkan caranya tidak diketahui, beriman dengannya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”.

    Yang dimaksud oleh beliau adalah bertanya tentang bagaimana caranya. Ucapan semakna berasal pula dari syaikh beliau, Rabi’ah bin Abdurrahman. Demikian juga sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha. Ucapan semacam ini adalah pendapat seluruh Ahlus Sunnah, para sahabat dan para tokoh ulama Islam setelah mereka.

    Allah telah menginformasikan dalam ayat-ayat yang lain bahwa Dia berada di langit dan di ketinggian, seperti dalam firman-firman-Nya.

    “Artinya : Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Ghafir : 12]

    “Artinya : Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih di naikkan-Nya” [Fathir : 10]

    “Artinya : Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Al-Baqarah : 255]

    “Artinya : Apakah kamu merasa terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan megirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku” [Al-Mulk : 16-17]

    Allah telah menjelaskan secara gamblang dalam banyak ayat di dalam kitab-Nya yang mulia bahwa Dia berada di langit, di ketinggian dan hal ini selaras dengan inidikasi ayat-ayat seputar istiwa.

    Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan ahli bid’ah bahwa Allah Ta’ala berada di setiap tempat (di mana-mana) tidak lain adalah sebatil-batil perkataan. Ini pada hakikatnya adalah madzhab Al-Hulul (semacam re-inkarnasi,-penj) yang diada-adakan dan sesat bahkan merupakan kekufuran dan pendustaan terhadap Allah Ta’ala serta pendustaan terhadap Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana secara shahih bersumber dari beliau menyatakan bahwa Rabb-nya berada di langit, seperti sabda beliau.

    “Artinya : Tidakkah kalian percaya kepadaku padahal aku ini adalah amin (orang kepercayaan) Dzat Yang berada di langit?” [1]

    Demikian pula yang terdapat di dalam hadits-hadits tentang Isra dan Mi’raj serta selainnya.

    [Majalah Ad-Da’wah, vol. 1288]

    ________________________________________________________

    HUKUM ORANG YANG MENGATAKAN : SESUNGGUHNYA ALLAH BERADA DI SETIAP TEMPAT (DI MANA-MANA)

    Oleh
    Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
    Pertanyaan
    Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Tentang ucapan sebagian orang bila dtanya, Di mana Allah? Lalu mereka menjawab : Allah berada di setiap tempat ( di mana-mana) atau –hanya menyebutkan- Allah itu ada. Apakah jawaban seperti ini dinyatakan benar secara mutlaq (tanpa embel-embel)?

    Jawaban
    Jawaban semacam itu adalah jawaban yang batil baik secara mutlaq ataupun dengan embel-embel. Bila anda ditanya, Di mana Allah?, maka jawablah : Allah berada di langit, sebagaimana jawaban yang diberikan oleh seorang wanita ketika ditanya oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu, lantas dia menjawab, Dia berada di langit.

    Sedangkan orang yang hanya mengatakan, Allah itu ada, ini jawaban menghindar dan mengelak (berkelit lidah) semata.

    Adapun terhadap orang yang mengatakan, Sesungguhnya Allah berada di setiap tempat (di mana-mana), bila yang di maksud dzat-Nya, maka ini adalah kekufuran sebab merupakan bentuk pendustaan terhadap nash-nash yang menekankan hal itu. Justru dalil-dalil sam’iy (Al-Qur’an dan hadits), logika serta fitrah menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi di atas segala sesuatu dan di atas lelangit, beristiwa di atas Arasy-Nya.

    [Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz I, hal.132-133]

    [Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
    __________
    Foote Note
    [1]. Shahih Al-Bukhari, kitab Al-Maghazy, no. 4351, Shahih Muslim, kitab Az-Zakah no. 144, 1064

  33. Di mana ALLAH?

    Abdul Hakim bin Amir Abdat

    Saya akan menjelaskan salah satu aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang telah hilang dari dada sebagian kaum muslimin, yaitu : tentang istiwaa Allah di atas Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Sehingga bila kita bertanya kepada saudara kita ; Dimana Allah ? Kita akan mendapat dua jawaban yang bathil bahkan sebagiannya kufur..! :
    Allah ada pada diri kita ini ..!
    Allah dimana-mana di segala tempat !
    Jawaban yang pertama berasal dari kaum wihdatul wujud (kesatuan wujud Allah dengan manusia) yang telah dikafirkan oleh para Ulama kita yang dahulu dan sekarang. Sedangkan jawaban yang kedua keluar dari kaum Jahmiyyah (faham yang menghilangkan sifat-sifat Allah) dan Mu’tazilah, serta mereka yang sefaham dengan keduanya dari ahlul bid’ah.

    Rasulullah SAW pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak perempuan milik Mua’wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu’awiyah :
    Artinya :
    “Beliau bertanya kepadanya : “Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan : “Di atas langit. Beliau bertanya (lagi) : “Siapakah Aku ..?”. Jawab budak itu : “Engkau adalah Rasulullah”. Beliau bersabda : “Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu’minah (seorang perempuan yang beriman)”.

    Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Jama’ah ahli hadits, diantaranya :
    Imam Malik (Tanwirul Hawaalik syarah Al-Muwath-tho juz 3 halaman 5-6).
    Imam Muslim (2/70-71)
    Imam Abu Dawud (No. 930-931)
    Imam Nasa’i (3/13-14)
    Imam Ahmad (5/447, 448-449)
    Imam Daarimi 91/353-354)
    Ath-Thayaalis di Musnadnya (No. 1105)
    Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya “Al-Muntaqa” (No. 212)
    Imam Baihaqy di Kitabnya “Sunanul Kubra” (2/249-250)
    Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di Kitabnya “Tauhid” (hal. 121-122)
    Imam Ibnu Abi ‘Aashim di Kitab As-Sunnah (No. 489 di takhrij oleh ahli hadits besar Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
    Imam Utsman bin Sa’id Ad-Daarimi di Kitabnya “Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyah” (No. 60,61,62 halaman 38-39 cetakan darus Salafiyah).
    Imam Al-Laalikai di Kitabnya “As-Sunnah ” (No. 652).
    PEMBAHASAN

    Pertama
    Hadist ini merupakan cemeti dan petir yang menyambar di kepala dan telinga ahlul bid’ah dari kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah dan yang sefaham dengan mereka, yaitu ; dari kaum yang menyandarkan aqidah mereka kepada Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ary, yaitu ; mereka mempunyai i’tiqad (berpendapat) :

    “ALLAH BERADA DI TIAP-TIAP TEMPAT ATAU ALLAH BERADA DIMANA-MANA .!?”

    Katakanlah kepada mereka : Jika demikian, yakni Allah berada dimana-mana tempat, maka Allah berada di jalan-jalan, di pasar-pasar, di tempat kotor dan berada di bawah mahluknya !?.

    Jawablah kepada mereka dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    Artinya :
    “Maha suci Engkau ! ini adalah satu dusta yang sangat besar” (An-Nur : 16)
    “Maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan ” (Al-Mu’minun : 91)
    “Maha Suci Dia ! Dan Maha Tinggi dari apa-apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar”. (Al-Isra : 43)

    Berkata Imam Adz-Dzahabi setelah membawakan hadits ini, di kitabnya “Al-Uluw” (hal : 81 diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani).
    Artinya :
    “Dan demikian ra’yu kami (setuju dengan hadits) setiap orang yang ditanya : “Dimana Allah ? “Dia segera dengan fitrahnya menjawab : Di atas langit !. Didalam hadits ini ada dua masalah : pertama : Disyariatkan pertanyaan seorang muslim : Dimana Allah ?. Kedua : Jawaban orang yang ditanya : (Allah) di atas langit ! Maka barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini berarti ia telah mengingkari Al-Musthafa (Nabi) SAW”.

    Dan telah berkata Imam Ad-Daarimi setelah membawakan hadits ini di kitabnya “Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyah (hal: 39): “Di dalam hadits Rasulullah SAW ini, ada dalil bahwa seseorang apabila tidak mengetahui sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berada di atas langit bukan bumi, tidaklah ia seorang mu’min”.

    Tidaklah engkau perhatikan bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan tanda/alamat keimanannya (yaitu budak perempuan) tentang pengetahuannya sesungguhnya Allah di atas langit. Dan pada pertanyaan Rasulullah SAW (kepada budak perempuan): “Dimana Allah ?”. Mendustakan perkataan orang yang mengatakan : “Dia (Allah) ada di tiap-tiap tempat (dan) tidak boleh disifatkan dengan (pertanyaan) : Dimana .?

    Kedua
    Lafadz ‘As-Samaa” menurut lughoh/bahasa Arab artinya : Setiap yang tinggi dan berada di atas. Berkata Az-Zujaaj (seorang Imam ahli bahasa) :
    Artinya :
    “(Lafadz) As-Samaa/langit di dalam bahasa dikatakan : Bagi tiap-tiap yang tinggi dan berada di atas. Dikatakan : atap rumah langit-langit rumah”.

    Dinamakan “Awan” itu langit/As-Samaa, karena ia berada di atas manusia. Firman Allah ‘Azza wa Jalla.
    Artinya :
    “Dan Ia turunkan dari langit Air (hujan)” (Al-Baqarah : 22).

    Adapun huruf “Fii” dalam lafadz hadits “Fiis-Samaa” bermakna ” ‘Alaa” seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    Artinya :
    “Maka berjalanlah kamu di atas/di muka bumi” (At-Taubah : 2)
    “Mereka tersesat di muka bumi” (Al-Maa’idah : 26)

    Lafadz “Fil Arldhii” dalam dua ayat diatas maknanya ” ‘Alal Arldhii”, Maksudnya : Allah ‘Azza wa Jalla berada di pihak/di arah yang tinggi -di atas langit- yakni di atas ‘Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Ia tidak serupa dengan satupun mahluk-Nya dan tidak satupun mahluk menyerupai-Nya.

    Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    Artinya :
    “Tidak ada sesuatupun yang sama dengan-Nya, dan Ia-lah yang Maha Mendengar (dan) Maha Melihat”. (As-Syura : 4)
    “Dan tidak ada satupun yang sama/sebanding dengan-Nya” (Al-Ikhlas : 4)
    “Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa (bersemayam)”. (Thaha : 5)
    “Sesungguhnya Tuhan kamu itu Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian ia istiwaa (bersemayam) di atas ‘Arsy”.(Al-A’raf :54).

    Madzhab Salaf -dan yang mengikuti mereka- seperti Imam yang empat : Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain Ulama termasuk Imam Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri, mereka semuanya beriman bahwa ; Allah ‘Azza wa Jalla ISTIWAA diatas ‘Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.

    Mereka tidak menta’wil ISTIWAA/ISTAWAA dengan ISTAWLA yang artinya : Berkuasa. Seperti halnya kaum Jahmiyyah dan yang sefaham dengan mereka yang mengatakan “Allah istiwaa di atas ‘Arsy” itu maknanya : Allah menguasai ‘Arsy !. Bukan Dzat Allah berada di atas langit yakni di atas ‘Arsy-Nya, karena Allah berada dimana-mana tempat !?… Mereka ini telah merubah perkataan dari tempatnya dan telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan Allah kepada mereka sama seperti kaum Yahudi (baca surat Al-Baqarah : 58-59).

    Katakan kepada mereka : Kalau makna istiwaa itu adalah istawla/berkuasa, maka Allah ‘Azza wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu bukan hanya menguasai ‘Arsy. Ia menguasai langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya dan sekalian mahluk (selain Allah dinamakan mahluk). Allah ‘Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang istawaa-Nya diatas ‘Arsy-Nya dalam tujuh tempat di dalam kitab-Nya Al-Qur’an. Dan semuanya dengan lafadz “istawaa”. Ini menjadi dalil yang sangat besar bahwa yang dikehendaki dengan istawaa ialah secara hakekat, bukan “istawla” dengan jalan menta’wilnya.

    Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla di Muhkam Tanzil-Nya.
    Artinya :
    “Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istawaa” (Thaha : 5)
    “Kemudian Ia istawaa (bersemayam) di atas ‘Arsy”.

    Pada enam tempat. Ia berfirman di kitab-Nya yaitu :
    Surat Al-A’raf ayat 54
    Surat Yunus ayat 3
    Surat Ar-Ra’du ayat 2
    Surat Al-Furqaan ayat 59
    Surat As-Sajdah ayat 4
    Surat Al-Hadid ayat 4
    Menurut lughoh/bahasa, apabila fi’il istiwaa dimuta’adikan oleh huruf ‘Ala, tidak dapat dipahami/diartikan lain kecuali berada diatasnya.
    Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
    Artinya :
    “Dan berhentilah kapal (Nuh) di atas gunung/bukit Judi” (Hud : 44).

    Di ayat ini fi’il “istawaa” dimuta’addikan oleh huruf ‘Ala yang tidak dapat dipahami dan diartikan kecuali kapal Nabi Nuh AS secara hakekat betul-betul berlabuh/berhenti di atas gunung Judi. Dapatkah kita artikan bahwa “Kapal Nabi Nuh menguasai gunung Judi” yakni menta’wil lafadz “istawat” dengan lafadz “istawlat” yang berada di tempat yang lain bukan di atas gunung Judi..? (yang sama dengan ayat di atas, baca surat Az-Zukhruf : 13).

    Berkata Mujahid (seorang Tabi’in besar murid Ibnu Abbas).
    Artinya :
    “Ia istawaa (bersemayam) di atas “Arsy” maknanya :
    “Ia berada tinggi di atas “Arsy”
    (Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175)

    Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di kitabnya “At-Tauhid” (hal: 101):
    Artinya :
    “Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa A’laa (yang Maha Besar dan Maha tinggi) sesungguhnya pencipta kami (Allah) Ia istiwaa di atas ‘Arsy-Nya. Kami tidak akan mengganti/mengubah Kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (kaum) Jahmiyyah yang menghilangkan sifat-sifat Allah, dengan mengatakan “Sesungguhnya Ia (Allah) istawla (menguasai) ‘Arsy-Nya tidak istawaa!”. Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka seperti perbuatan Yahudi tatkala mereka diperintah mengucapkan : “Hith-thatun (ampunkanlah dosa-dosa kami)” Tetapi mereka mengucapkan : “Hinthah (gandum).?”. Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Besar dan Maha tinggi, begitu pula dengan (kaum) Jahmiyyah”.

    Yakni, Allah telah menegaskan pada tujuh tempat di kitab-Nya yang mulia, bahwa Ia istiwaa di atas ‘Arsy-Nya (Dzat Allah istiwaa/bersemayam di atas ‘Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran-Nya, sedangkan ilmu-Nya berada dimana-mana/tiap-tiap tempat tidak satupun tersembunyi dari pengetahuan-Nya). Kemudian datanglah kaum Jahmiyyah mengubah firman Allah istawaa dengan istawla yakni menguasai ‘Arsy sedangkan Dzat Allah berada dimana-mana/tiap-tiap tempat !!!. Maha Suci Allah dari apa-apa yang disifatkan kaum Jahmiyyah !

    Adapun madzhab Salaf, mereka telah beriman dengan menetapkan (istbat) sesungguhnya Allah Azza wa Jalla istiwaa -dan bukan istawla- di atas ‘Arsy-Nya tanpa :
    Tahrif yakni ; Merubah lafadz atau artinya.
    Ta’wil yakni ; Memalingkan dari arti yang zhahir kepada arti yang lain.
    Ta’thil yakni ; Meniadakan/menghilangkan sifat-sifat Allah baik sebagian maupun secara keseluruhannya.
    Tasybih yakni ; Menyerupakan Allah dengan mahluk.
    Takyif yakni ; Bertanya dengan pertanyaan : Bagaimana (caranya) ?
    Alangkah bagusnya jawaban Imam Malik ketika beliau ditanya :
    “Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy ?. Beliau menjawab :
    Artinya :
    “Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya (bahwa Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah bid’ah”.
    (baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46)

    Perhatikan !
    ‘Arsy adalah mahluk Allah yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas :
    Artinya :
    “Dan ‘Arsy tidak seorangpun dapat mengukur berapa besarnya”.

    Berkata Imam Dzahabi di kitabnya “Al-Uluw” (hal : 102) : rawi-rawinya tsiqaat (terpercaya).
    Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : Sanadnya shahih semua riwayatnya tsiqaat. (dikeluarkan oleh Imam ibnu Khuzaimah di kitabnya “At-Tauhid”).

    Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla -istiwaa-Nya di atas ‘Arsy- tidak tergantung kepada ‘Arsy. Bahkan sekalian mahluk termasuk ‘Arsy bergantung kepada Allah Azza wa Jalla.

    __________________________________

    Yari NK replies:

    Lagi2 jawaban anda tidak fokus dan kurang relevan dengan pertanyaan saya karena anda belum menjawab pertanyaan saya. Nampaknya anda ragu2 akan KEKUASAAN ALLAH yang dengan kekuasaanNya, Allah dapat berkehendak di manapun Allah mau. Jawablah dulu pertanyaan saya dengan tegas. 😉

    Lihat kembali ayat Qurân di atas (50:16) di atas bahwa Allah dapat berada lebih dekat dari urat leher manusia. Fikirkan sendiri. 😉

  34. Dimana Allah? pertanyaannya ngawur, pertanyaan orang bodoh. Jawabanya lebih bodoh lagi. di atas arsy…. emang makhluk…. Sebelum Arsy diciptakan dimana Allah? hehehehe. Allah itu berbeda dengan makhluk. Salah satu sifat makhluk bertempat. Allah berbeda dengan makhluk. Maka Allah tidak bertempat.

    Istawa ‘ala arsy artinya menguasai. Dekat-jauh itu adalah sifat mkhluk. Allah dekat tapi tidak berarti lebih dekat dari sesuatu. Allah jauh bukan berarti lebih jauh dari sesuatu. Ketika kita membayangkan Allah maka itu bukan Allah. Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.

    ______________________________

    Yari NK replies:

    Huahahaha…. sebenarnya pertanyaan tersebut dilontarkan oleh orang2 ateis… atau dalam kasus saya tersebut adalah seorang Jerman yang ateis sewaktu berdebat dengan saya. Hehehe…..

    Dan saya setuju dengan anda, sebab dalam Surat Tha ha ayat 5 (20:5) menurut Quran terjemahan Sulaiman Yusuf Ali mengatakan bahwa:

    “Allah Most Gracious, Is firmly established On the Throne (of authority)”. Jadi memang Arsy’ di sini artinya kurang lebih adalah “kekuasaan”. Benar sekali. 🙂

  35. lah, podo wae, si Yari karo si Ysf kuwi!!!
    istawa alal arsy kok ditahrif “menguasai”, si Ysf blom mbaca artikel atau koment saya di atas tadi ya?!baca dulu donk!
    kalo kayak gitu itu aqidahnya kaum mu’tazilah. antum (kalian semua) mu’tazilah bukan??? kalo iya, naudzubillah!

  36. apa males mbaca coz kepanjangen????

  37. “Dimana Allah? pertanyaannya ngawur, pertanyaan orang bodoh. ”
    MASYA ALLAH, RASULULLAH PERNAH MELONTARKAN PERTANYAAN DIMANA ALLAH KEPADA SEORANG BUDAK WANITA. GIMANA? RASULULLAH BODOH?
    TERNYATA PENGHINAAN ADA JUGA YANG TERSIRAT….

  38. @YARI NK
    “Lagi2 jawaban anda tidak fokus dan kurang relevan dengan pertanyaan saya karena anda belum menjawab pertanyaan saya. Nampaknya anda ragu2 akan KEKUASAAN ALLAH yang dengan kekuasaanNya, Allah dapat berkehendak di manapun Allah mau. Jawablah dulu pertanyaan saya dengan tegas….”

    ENAK AJA RAGU! SAYA TIDAK RAGU. BAHKAN ANDA YANG RAGU. ANDA RAGU THD DALIL. DALAM QURAN DIKATAKAN ALLAH DI ATAS ARSY, DAN ITULAH KEHENDAK ALLAH YANG KITA KETAHUI BERDASARKAN DALIL. ALLAH BISA SAJA BERADA DI RUMAHMU… MANA DALILNYA?

    BUKTI:ANDA BERKATA: “…Dan saya setuju dengan anda, sebab dalam Surat Tha ha ayat 5 (20:5) menurut Quran terjemahan Sulaiman Yusuf Ali mengatakan bahwa:

    “Allah Most Gracious, Is firmly established On the Throne (of authority)”. Jadi memang Arsy’ di sini artinya kurang lebih adalah “KEKUASAAN”. Benar sekali.”

    APA ITU ARSY??? KEKUASAAN? JELAS SESAT! KETIKA SAYA TANYA DIMANA ALLAH? ANDA JAWAB: DI ATAS ARSY…

    LAH KOK TRUS ANDA NGOMONG ARSY ITU KEKUASAAN,,WE LEH WEL WEHH…

    YA SUDAH, ORANG GAK PAHAM APA ITU ARSY…
    APALAGI DITANYA DIMANA ALLAH!!TAMBAH BINGUNG PASTI!

    UDAH RAGU THD KEBERADAAN ALLAH DI ATAS ARSY, LAH KOK MALAH NGOTOT “….yang dengan kekuasaanNya, Allah dapat berkehendak di manapun Allah mau…” KAN REPOT!

    KETIKA SAYA KATAKAN BAHWA ALLAH DI ATAS ARSY ANDA SEPAKAT DENGAN SAYA BERDASARKAN DALIL2 YG SAYA KETENGAHKAN. KETIKA “SI YFS” KATAKAN BAHWA ARSY ITU ADALAH KEKUASAAN ANDA SEPAKAT DENGAN “SI YSF”, BAGEMANA THO??? BETUL, ANDA YANG RAGU DAN TEROMBANG-AMBING……..

    NGOMONG2 SIAPA “SI YSF” ITU??? SAYA CURIGA, JANGAN2 ANDA SENDIRI, YARI FRANCIS KALI YAA?

    DAH LAH , DEBAT INI SAYA TUTUP, SAYA YAKIN AL HAQQ TETAP EKSIS DAN TINGGI, KEBATILAN AKAN SIRNA. YAA ALLAH SELAMATKANLAH AKU BESERTA KELUARGAKU DARI AMAL-AMAL YANG MEREKA PERBUAT, YAA ALLAH SELAMATKANLAH, YAA ALLAH HANCURKAN KEBATHILAN ITU, YAA ALLAH SELAMATKANLAH, YAA ALLAH SELAMATKANLAH SAUDARA2 KAMI SEISLAM SEIMAN, YAA ALLAH AMPUNILAH KAMI SEMUA…..

  39. MAAF TERPAKSA SAYA BUKA DEBAT INI LAGI:
    “…Lihat kembali ayat Qurân di atas (50:16) di atas bahwa Allah dapat berada lebih dekat dari urat leher manusia. Fikirkan sendiri.”

    AKAN SAYA TANYA SUDAHKAN ANDA BACA TAFSIR PARA ULAMA MU’TABAR TTG INI???

    “Dan sesungguhnya KAMI telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan KAMI lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”

    SAYA TANYA SIAPA “KAMI” DI AYAT TSB??? KALO GAK TAHU JANGAN NGAWUR MENGATAKAN DAN MENAFSIRKAN BAHWA ITU ALLAH. QURAN TDK BOLEH BUAT KREASI IDE SENDIRI2, TDK BOLEH MAIN2, INI BUKAN AJANG BEBAS BERPIKIR….

    Makna Dekatnya Allah Pada Surat Qaaf : 16 Dan Al-Waqi’ah : 85

    MAKNA DEKATNYA ALLAH

    Oleh
    Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

    [1]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

    “Artinya : Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [Qaff : 16]

    [2]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

    “Artinya : Dan Kami lebih dekat kepadanya dari kamu” [Al-Waqi’ah : 85]

    Ahlul takwil melancarkan sybuhat berupa tuduhan kepada Ahlus Sunnah bahwa merekapun telah melakukan takwil terhadap dua ayat di atas, yaitu ketika menafsirkan kata-kata “lebih dekat” yang dimaknai “lebih dekatnya malaikat”.

    Jawaban terhadap syubhat itu ialah : “Bahwa penafsiran kata-kata “ Kami lebih dekat” pada dua ayat diatas dengan “dekatnya malaikat” bukanlah takwil, bukan menyelewengkan perkataan dari makna dhahirnya. Dan hal ini akan jelas bagi orang yang merenungkannya.

    Penjelasannya sebagai berikut.

    [1]. Tentang ayat pertama : Sesungguhnya kata-kata “Kami lebih dekat” pada ayat itu terkait dengan sesuatu yang membuktikan bahwa maksudnya adalah “malaikat yang lebih dekat” karena ayat tersebut berlanjut.

    “Artinya : Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang Malaikat mencatat amal perbuatannya. Seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir” [Qaf : 16-18]

    Maka firman Allah : “Yaitu ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya”, terdapat dalil bahwa yang dimaksud “lebih dekat” adalah dekatnya dua orang Malaikat yang mencatat amal perbuatannya.

    [2]. Tentang ayat kedua : Kata-kata “lebih dekat” pada ayat ini berkaitan dengan keadaan seseorang yang tengah menghadapi sakaratul maut. Ketika seorang sedang menghadapi sakaratul maut, maka yang datang untuk mencabut nyawanya adalah malaikat, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

    “Artinya : Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat (utusan) Kami, dan malaikat-malaikat itu tidak melalaikan kewajibannya” [Al-An’am : 61]

    Kemudian pada ayat Al-Waqi’ah : 85, lengkapnya berbunyi.

    “Artinya Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” [Al-Waqi’ah : 85]

    Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “kamu tidak melihat” pada ayat itu menyatakan dalil sangat jelas bahwa yang tidak kamu (manusia-pent) lihat adalah para malaikat. Sebab ayat diatas menunjukkan bahwa pencabut nyawa berada sangat dekat dengan manusia, dalam arti ia berada di tempat manusia itu berada, namun manusia tidak dapat melihatnya.

    Dengan demikian, yang dekat dan berada di tempat manusia (yang sedang sakaratul maut untuk dicabut nyawanya) tidak lain adalah malaikat. Sebab adalah mustahil jika Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang berada di situ. Maka jelaslah bahwa yang dimaksud “lebih dekat” adalah dekatnya malaikat.

    Tinaggal sekarang permasalahannya, yaitu kalau yang dimaksud adalah dekatnya malaikat, mengapa kata-kata “dekat” kemudian disandarkan kepada Allah, yakni : “Kami lebih dekat kepadanya”. Adakah contoh ungkapan lain dalam Al-Qur’an yang menandaskan bahwa sesuatu disandarkan kepada Allah, tetapi maksudnya adalah malaikat?

    Jawaban Pertanyaan Pertama.
    Karena malaikat itu merupakan tentara dan utusan Allah. Dan dekatnya mereka kepada manusia hanyalah karena perintah Allah. Sehingga ketika mereka dekat dengan manusia, maka diakuinya kedekatan itu sebagai kedekatan Allah kepada manusia.

    Jawaban Pertanyaan Kedua.
    Memang ada contoh ungkapan lain dalam Al-Qur’an yang menandaskan bahwa sesuatu disandarkan kepada Allah tetapi maksudnya adalah malaikat. Misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

    “Artinya : Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu” [Al-Qiyamah : 18]

    Disini Allah mengatakan : “Bila Kami (Allah) telah selesai membacakannya”. Sedangkan yang dimaksud adalah : “Bila malaikat Jibril telah selesai membacakan Al-Qur’an kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Sekalipun diakuinya bacaan itu sebagai bacaan yang disandarkan kepada Allah dengan firmanNya : Apabila Kami (Allah) telah selesai membacakannya” . Mengapa ? Sebab ketika Jibril membacakan Al-Qur’an kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanyalah semata-mata karena perintah Allah. Dengan demikian, boleh saja jika kemudian Allah mengklaim bahwa bacaan Jibril tersebut sebagai bacaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

    Begitu pula misal yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

    “Artinya : Maka tatkala rasa takut telah hilang dari Ibrahim dan berita gembira telah datang kepadanya, diapun bersoal-jawab dengan Kami tentang kaum Luth” [Hud : 74]

    Kata-kata “bersoal jawab dengan Kami/Allah” maksudnya adalah bersoal jawab dengan para malaikat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diutus untuk menemui Ibrahim

    Kesimpulan:
    Dua ayat dalam surat Qaaf 16 dan surat Al-Waqi’ah : 85 di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa “Kami (Allah) lebih dekat”, maksudnya adalah “malaikat lebih dekat” karena dekatnya malaikat merupakan perintah Allah. Dan penafsiran ini bukan takwil terhadap ayat-ayat sifat dan bukan pula pengalihan makna dari makna dzahirnya, berdasarkan penjelasan yang sudah dikemukakan di muka.

    Alhamdulillah.

    [Disarikan dari Al-Qawa’id Al-Mutsla, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Ahmas Faiz Asifuddin, Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IV/1420H/1999M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo

  40. oke, na’am saya tutup! palu diketuk 3x…

    _____________________________________________

    Yari NK replies:

    ENAK AJA RAGU! SAYA TIDAK RAGU. BAHKAN ANDA YANG RAGU. ANDA RAGU THD DALIL. DALAM QURAN DIKATAKAN ALLAH DI ATAS ARSY, DAN ITULAH KEHENDAK ALLAH YANG KITA KETAHUI BERDASARKAN DALIL. ALLAH BISA SAJA BERADA DI RUMAHMU… MANA DALILNYA?

    Dalilnya adalah ‘ALLAH MAHA BERKEHENDAK DAN MAHA KUASA!” Jadi Allah bisa berada di mana saja. Ini bukan hanya masalah ALLAH DAPAT BERADA DI RUMAHMU ATAU DI RUMAHKU ATAU DI MANAPUN, tapi ini masalah KEMAHABERKEHENDAKAN dan KEMAHAKUASAAN ALLAH untuk berada di mana saja! Jadi kesimpulannya anda tetap ragu!

    Dalil2 yang panjang lebar anda utarakan itu hanya memutar2 saja….. karena saya tetap percaya ALLAH MAHA BERKEHENDAK di manapun ALLAH MAU. Ngerti? 😉

  41. karena saya tetap percaya ALLAH MAHA BERKEHENDAK di manapun ALLAH MAU.

    note: ya,,Allah bisa turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir..tanpa harus dibagaimanakan.

Tinggalkan Balasan ke Abdillah Batalkan balasan