Category Archives: Serba Serbi

Mekah Bukanlah (satu-satunya) Tempat Golden Ratio di Bumi Ini

Perhatian:

Postingan ini bukan postingan tentang agama tetapi murni postingan ilmu pengetahuan biasa. Terima kasih.

Beberapa waktu yang lalu seorang tweep di twitter berkicau tentang kota Mekah yang dikatakannya sebagai tempat “The Golden Ratio” di permukaan bumi ini. Sebenarnya topik ini bukanlah baru karena di forum digital manapun topik ini sudah sering diketengahkan dan diperdebatkan. Untuk itu saya tertarik untuk menuliskannya kembali dan mengangkatnya sebagai postingan di blog ini, benarkah Mekah adalah tempat Golden Ratio di permukaan bumi ini? Jikalau benar apakah Mekah satu-satunya tempat Golden Ratio di planet ini? Dan jikalau benar pula, apakah tempat-tempat Golden Ratio ini benar-benar istimewa? Yuk…. mari kita telaah satu persatu.

APAKAH GOLDEN RATIO ITU?

goldenratio

Secara sederhana Golden Ratio (atau ada juga yang menyebutnya sebagai the Golden Mean) adalah jika kita menggambar sebuah garis dan membagi dua garis itu yang satu panjang (kita namakan misalnya garis tersebut garis ‘a’) dan yang satu pendek (kita namakan garis tersebut garis ‘b’) maka perbandingan total panjang garis ‘a’ dan ‘b’ banding ‘a’ harus sama dengan perbandingan panjang garis ‘a’ banding garis ‘b’. Atau secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

\frac{a+b}{a} = \frac{a}{b} = 1,61803...

Sederhana bukan? Dan ternyata nilai dari perbandingan tersebut mendekati angka 1,61803…… Atau secara sederhana dapat disimpulkan bahwa perbandingan panjang garis ‘a’ (yang panjang) dengan garis ‘b’ (yang pendek) haruslah 1,61803……. Golden ratio ini sering disimbolkan dengan huruf Yunani ‘phi’ atau ‘ϕ’. Mulai saat ini kita akan menggantikan angka 1,61803… ini dengan ‘ϕ’.

BENARKAH MEKAH MERUPAKAN TEMPAT THE GOLDEN RATIO DI BUMI?

Sekarang perhatikan peta di bawah ini:

petagoldenratioPada gambar peta di atas garis hitam tebal adalah garis khatulistiwa (horizontal) dan garis meridian atau bujur 0 derajad (vertikal) yang melewati Greenwich, Inggris. Sekarang perhatikan garis hijau dan garis merah yang berpotongan di jazirah Arabia di atas. Itulah yang dmaksudkan dengan tempat the golden place ratio.

Bagaimana cara mendapatkan tempat golden ratio di jazirah Arabia di atas? Sebenarnya mudah saja! Seperti yang sudah kita ketahui di atas: \frac{a+b}{a} = 1,61803... Sekarang dari persamaan itu mari kita mencari koordinat tempat the golden place itu. Pertama kita mencari koordinat lintangnya. Karena total lintang dari utara ke selatan adalah 180° maka a+b=180. Masukan 180 ke persamaan di atas:

\frac{180}{a} = 1,61803... maka

\frac{180}{1,61803...} = a

a = 111, 2464°

Sekarang kita cari koordnat bujurnya. Karena total bujur di permukaan bumi ada 360° maka a + b = 360°. Kita masukan dalam persamaan caranya sama:

\frac{360}{a} = 1,61803...

\frac{360}{1,61803...} = a

a = 222,4928°

Apa artinya? Artinya dari total lintang 180° garis yang panjang adalah sepanjang 111,2464° sedangkan garis yang pendek adalah sepanjang 180° – 111,2464° = 68,7536°. Sedangkan untuk bujur, garis yang panjang adalah 222,4928° sedangkan garis yang pendek adalah 360 – 222,4928° = 137,5072°. Sekarang kitaa kembali ke peta di atas batas kiri peta adalaah 180° Bujur Barat (BB) atau supaya lebih mudah kita sebut -180°. Sedangkan batas kanan peta adalah 180° BT (Bujur Timur) atau kita sebut 180°. Batas atas peta adalah 90° LU (Lintang Utara) atau kita sebut 90°. Sedangkan batas bawah peta adalah 90°LS (Lintang Selatan) atau -90°. Mari pengukuran kita mulai dari batas kiri peta. Batas kiri peta adalah -180° kita tambahkan dengan  222.4928° ( -180° + 222,4928° = 42,4928°) atau 42,4928° Bujur Timur. Sekarang  berikutnya kita ukur mulai batas bawah peta yaitu -90° kita tambahkan dengan 111,2464° (-90° + 1111,2464° = 21,2464°) atau 21, 2464° Lintang Utara. Nah, jikalau kita cari di Google Maps maka koordinat (42,4928° BT 21,2464° LU) adalah memang di wilayah Saudi Arabia atau diperpotongan garis merah dan hijau di atas! Itulah tempat the Golden Ratio di muka bumi ini. Namun begitu ternyata tempat the Golden Ratio itu sekitar 275 km di luar kota Mekah dan tidak persis di kota Mekah seperti dalam gambar berikut ini (tempat yang ditandai balon merah adalah tempat Golden Ratio sementara yang ditandai balon hijau adalah kota Mekah):

ScreenHunter_01 Mar. 01 07.56

 

 

 

 

 

APAKAH “MEKAH” (DALAM TANDA KUTIP) TEMPAT SATU-SATUNYA THE GOLDEN RATIO DI BUMI?

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah tempat di Saudi Arabia itu satu-satunya tempat the Golden Ratio di bumi ini? Ternyata tidak! Sekarang mari kita coba mencari tempat the Golden Ratio yang lain. Kita mulai dari batas atas peta untuk mencari koordinat lintang. Koordinat batas atas peta adalah 90° LU, selanjutnya kita kurangi 90° dengan 111,2464° hasilnya adalah -21,2464° atau 21,2464° LS (Lintang Selatan). Berikut kita cari koordinat bujur, kita mulai dari batas kanan peta yaitu yang berkoordinat 180° BT, selanjutnya kita kurangi 180° dengan 222,4928 hasilnya adalah -42,4928 atau 42,4928° BB (Bujur Barat). Nah, jikalau anda mencarinya di Google Map maka akan diperoleh tempat dari koordinat tersebut yaitu sebuah tempat di Brasil sekitar 200 km dari kota Rio de Janeiro, seperti nampak pada peta berikut ini:

ScreenHunter_02 Mar. 01 07.59

Jadi apa kesimpulannya? Kesimpulannya adalah:

  1. Mekah (dan juga Rio de Janeiro tentu saja) bukanlah “pusat dunia” atau tempat the Golden Ratio di bumi ini.
  2. Terdapat banyak tempat the Golden Ratio di muka bumi ini selain dari “Mekah” dan “Rio de Janeiro”. Dapatkah anda menemukan tempat-tempat lainnya tersebut? Silahkan mencoba sendiri! 😉

Parijs van Java dan Perasaan Inferior

Lambang kota ParisDi jejaring sosial Twitter, ada seorang rekan tweep yang suka “menyamakan” dirinya dengan seorang penyanyi cantik asal Colombia yang namanya meroket sewaktu piala dunia yang lalu. Sebenarnya sah-sah saja dan bebas-bebas saja dia menyamakan dirinya dengan siapapun juga termasuk dengan penyanyi tersebut. Namun begitu saya nasihatkan dia agar dia tidak perlu lagi menyamakan dirinya dengan penyanyi seksi Colombia tersebut  karena selain emang tidak mirip sama sekali, perbuatan tersebut hanya menunjukkan sifat inferiority complex , atau lebih tepatnya mungkin bibit-bibit IC yang ada pada dirinya. IC adalah perasaan inferior  akut yang ada pada seseorang ataupun kelompok orang (seperti suku bangsa, bangsa dsb.) baik secara sadar atau tidak. Tentu saja ia berdalih bahwa hal tersebut hanya sebagai lucu-lucuan saja. Namun begitu, tetap saja perbuatan tersebut sangat berbau IC karena memang perilaku yang berbau IC tidak berpengaruh apakah bertujuan lucu-lucuan atau serius. Salah satu ciri seseorang yang mempunyai sifat IC adalah senang disamakan atau menyamakan dirinya dengan orang atau fihak yang dianggap lebih superior (minimal dalam satu hal/aspek). Dalam kasus ini, yang (merasa) mempunyai wajah kalah cantik atau badan kalah seksi akan menyamakan dirinya dengan ia/mereka yang (dianggap) mempunyai wajah lebih cantik atau badan lebih seksi. Padahal andai dia konsisten dengan pernyataannya bahwa hal tersebut untuk lucu-lucuan, tentu secara logika ia akan memilih Omas atau Tessy Srimulat. Jadinya lebih lucu lagi kan? 😉

IC memang kebanyakan terjadi secara tidak sadar karena kita tidak akan pernah mengakui secara terus terang perasaan inferioritas kita. Sebenarnya perasaan inferior baik secara individu ataupun kolektif secara sadar atau tidak sadar ada pada diri kita semua.  Kita secara tidak langsung sering merasa inferior terhadap mereka yang lebih sukses, lebih pintar, lebih tinggi, lebih ganteng/cantik dan sebagainya. Perasaan inferior tersebut dapat terjadi pada level individu ataupun pada level kolektif sebagai sebuah bangsa. Namun jikalau perasaan inferior tersebut  menyebabkan pengasosiasian diri terhadap mereka yang dianggap superior maka gejala IC mulai tumbuh.

Perasaan IC bukan hanya terjadi secara individu, secara kolektif dan secara tidak sadar, bibit-bibit IC telah tumbuh di antara kita. Contoh adalah dalam sebutan kota Bandung sebagai Parijs van Java. Oke bagi sebagian orang Bandung mungkin bangga karena kota mereka disamakan dengan sebuah kota di Eropa, sebuah kehormatan bagi mereka. Kalau sekedar bangga ya tidak mengapa. Namun jika sebutan “Parijs van Java” tersebut mulai menggema di mana-mana, bahkan ada nama stasiun TV dan mal yang memakai nama tersebut, sehingga mereka lebih bangga menyebut “Parijs van Java” daripada istilah “Bandung” atau “kota kembang” di situlah bibit-bibit IC sudah muncul. Secara tidak sadar justru kita lebih mengidolakan kota Paris daripada kota Bandung. Kita bangga (secara berlebihan) kota kita yang inferior disamakan dengan kota yang superior. Sementara sebaliknya, kota Paris, kota yang superior belum tentu senang kotanya disebut Bandung de l’Europe, bahkan mungkin orang Paris tidak suka kotanya disamakan dengan kota Bandung yang inferior. Jadi jikalau orang Paris tidak suka kotanya disamakan dengan kota Bandung kenapa juga kita orang Bandung harus bangga (apalagi berlebihan) menyamakan diri kita dengan kota Paris? Marilah kita bangga dengan identitas kita sendiri, Paris adalah Paris, Bandung adalah Bandung. Masing-masing punya identitas sendiri-sendiri yang patut dibanggakan.

Jadi, marilah, kita bangga menjadi diri kita sendiri. Kita tidak perlu mengasosiasikan diri kita terhadap orang lain yang tidak perlu dan tidak bermanfaat. Kalau memang perasaan inferior itu bermanfaat sehingga memajukan prestasi kita, mungkin itu malah bagus. Namun, jika hanya sekedar bangga-banggaan, lucu-lucuan dan seterusnya selain kurang bermanfaat LAMA-LAMA juga jadi tidak membanggakan dan tidak lucu lagi malah melahirkan kesan ia ingin seperti “idola”nya tapi (tentu saja) gagal total! 😉

A, B atau C?

Cukup menarik artikel yang dibuat di blog manusiasuper di sini. Sebenarnya ada dua  pertanyaan yang diajukan di artikel manusiasuper tersebut, namun saya tertarik terhadap salah satunya saja. Untuk singkatnya, mari saya intisarikan artikel tersebut di sini. Oke, misalnya anda disuruh memilih dari ketiga kandidat berikut ini (diusahakan jangan golput 😉 )

Kandidat A:  Memiliki banyak teman politisi busuk, percaya pada ramalan bintang, punya dua istri gelap, perokok ganja dan minum 8 hingga 10 gelas martini per hari.

Kandidat B: Pernah dipecat dari kantornya dua kali, selalu tidur hingga siang hari, pengguna opium ketika menjadi mahasiswa dan minum setengah galon wiski setiap malam.

Kandidat C: Dinobatkan sebagai pahlawan perang, vegetarian, tidak merokok, sangat jarang minum minuman keras, dan tidak pernah melakukan pelecehan seksual apapun.

Ayo pilih sekarang! Nah….. anda sudah memilih?? Sekarang kita lihat siapa saja ternyata ketiga kandidat tersebut:

**

**

**

**

**

**

**

**

**

**

Dan ini dia ketiga kandidat tersebut:

Kandidat A: Franklin Delano Roosevelt
Kandidat B: Winston Churchill
Kandidat C: Adolf Hitler

Terkejut? Ya, sayapun juga terkejut. Tapi hanya untuk sementara. Ada dua hal kenapa keterkejutan saya hanya sebentar.  Pertama saya langsung menyadari bahwa pilihan di atas agak “mengarahkan” karena kandidat A dan B hanya dituliskan sifat yang buruk-buruk saja, sementara kandidat C hanya dituliskan sifat yang baik-baik saja.  Mungkin jikalau sifat-sifat kandidat A dan B diteruskan dan dimasukkan juga sifat-sifat baiknya sementara sifat-sifat kandidat C juga diteruskan dan dimasukkan juga sifat-sifat buruknya mungkin pilihan kita bisa berbeda. Kedua, tentu saja saya sadar bahwa seburuk-buruknya orang iapun pasti punya sifat-sifat positif juga, sebaliknya sebaik-baiknya orang iapun pasti punya sifat-sifat negatif juga jadi kasus di atas sebenarnya adalah hal yang umum.

Namun hal yang lebih penting dari adanya “kasus”  di atas adalah bisa membuat calon pemilih menjadi bingung karena dalam benaknya tertanam seolah-olah mereka yang mempunyai sifat-sifat baik ternyata bisa menjadi seorang “monster” dan sebaliknya. Sebenarnya kasus di atas memang bisa saja terjadi di dunia nyata ketika para pemilih dengan segala cara tidak bisa mengetahui sifat-sifat lengkap kandidat-kandidat yang akan dipilihnya atau pendek kata informasi mengenai kandidat-kandidat tersebut sangat terbatas. Kalau sudah begitu kini timbul dua pertanyaan, pertama, apakah jikalau kita memilih C (yang ternyata Adolf Hitler) berarti kita salah pilih? Tentu saja jawabannya ‘ya’. Tapi, pertanyaan kedua, apakah kita bersalah karena memilih C? Jawabannya ‘tidak’, karena kita sudah memilih dengan kriteria yang masuk akal berdasarkan informasi maksimal yang kita dapatkan. Memang betul, lain waktu jika ada kandidat-kandidat dengan sifat-sifat di atas bisa jadi kandidat C malah lebih buruk dari Adolf Hitler, namun jangan lupa bisa saja lain waktu ternyata kandidat A atau B yang memang jauh lebih buruk dari Adolf Hitler. Jadi jika ada pemilihan kandidat seperti di atas dan anda tidak mengetahui bahwa C adalah Adolf Hitler, dan anda hanya mempunyai informasi yang terbatas mengenai ketiga kandidat, maka jangan ragu-ragu untuk memilih salah satu kandidat yang menurut anda paling sreg, termasuk kandidat C ! 😉

Perempuan Itu Goblok!

Eiiits… jikalau anda membaca judul di atas jangan emosi dulu, lanjutkan membaca artikel ini hingga selesai maka anda akan mengerti sepenuhnya mengapa saya menuliskan judul seperti di atas. Dan tentu saja tidak semua perempuan itu goblok, laki-lakipun banyak juga yang goblok (juga bencong tentu saja 😀 ). Untuk jelasnya mengapa saya memilih judul di atas mari kita lanjutkan pembahasan kita kali ini. 🙂

Ide tulisan ini berawal ketika secara tak sengaja saya mendengar percakapan dua orang ibu-ibu muda yang sama-sama tengah menunggu giliran (antrian) teller di Bank N*SP. Saya yang kebetulan duduk di depan kedua ibu-ibu tadi mendengar betul apa yang dipercakapkan keduanya. Mereka tengah berargumentasi kecil tentang poligami. Yang satu setuju dengan poligami, yang satunya lagi tidak. Dari kedua belah fihak banyak mengutarakan argumentasi-argumentasi menggelikan walaupun ada juga yang cukup “tepat sasaran”. Namun kali ini saya tidak akan membahas tentang apa yang diperdebatkan kedua ibu muda itu tetapi saya akan menulis tentang uneg-uneg saya mengenai polemik poligami ini.

Bagi saya poligami adalah hak dan tanggungjawab individu masing-masing. Saya yakin jika poligami dimulai dengan niat yang baik (tidak sekedar nafsu untuk mencari “daun muda”) insya Allah akan berjalan dengan baik pula pada akhirnya. Yang saya tidak mengerti adalah wanita Muslimah yang sudah berniat menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya namun tidak bisa menerima bahwa di dalam Islam laki-laki bisa beristri hingga empat. Seharusnya yang ia tidak setuju bukan poligaminya tetapi KETIDAKADILANNYA terhadap istri-istrinya setelah ia berpoligami karena yang jelas-jelas tidak diperbolehkan dalam Islam adalah ketika sang suami gagal berlaku adil terhadap istri-istrinya, betul begitu kan? (Maaf mohon koreksi kalau salah). Saya yakin bahwa laki-laki berpoligami yang tidak adil terhadap istri-istrinya maka ia akan berdosa dan akan mendapatkan ganjaran kelak di akhirat. Enak di dunia, tidak enak di akhirat. Semua akan mendapat ganjarannya kelak. Bahkan saya yakin juga, wanita yang sabar melihat suaminya berpoligami akan mendapatkan imbalan yang setimpal di akhirat kelak. Lantas kenapa wanita (Muslimah) musti khawatir? Cemburu? Atau sirik karena wanita tidak boleh poliandri? Atau khawatir sang suami bertindak nggak adil? Kalau suami berlaku tidak adil seharusnya yang lebih khawatir itu sang suami sendiri! Karena kelak ia harus mempertanggungjawabkan ketidakadilannya di depan Allah swt. Itu kalau anda percaya terhadap ajaran Islam. Kalau tidak? Ya… itu terserah anda. Tapi jangan terjadi hal menggelikan, anda menerima apa yang cocok dengan anda dan dengan cepat membuang apa yang tidak sesuai dengan anda tanpa berfikir panjang. Namun begitu, sekali lagi, jika andapun menginginkan sesuatu yang menggelikan tersebut, itu juga hak anda. 😉

O iya…. ada satu lagi yang cukup menggelikan. Kebanyakan, dari yang saya baca di blog-blog milik wanita Muslimah*) yang nggak setuju poligami, kebanyakan dari mereka baik langsung ataupun tidak langsung hampir selalu menyalahkan laki-laki dalam hal poligami. Menurut saya ini adalah sesuatu yang goblok konyol. Kenapa? Karena kalau mereka tidak setuju dengan poligami, mereka seharusnya juga menyalahkan kaum perempuan sendiri! Loh? Ya… tentu saja! Salahkan juga perempuan yang mau dipoligami! Tapi kan… perempuan adalah fihak yang terperdaya oleh muslihat laki-laki yang ingin berpoligami? Justru itu! Jadi perempuan jangan goblok! Jangan cepat terperdaya oleh muslihat laki-laki yang ingin berpoligami. Apalagi setelah tahu kalau si calon suami sudah punya istri ternyata masih mau juga diperistri. Jadi bagi wanita Muslimah yang tidak setuju dengan poligami, salahkan JUGA perempuan-perempuan ‘goblok’ yang mau dipoligami. Karena jika perempuan-perempuan itu tidak mau dipoligami, tidak akan ada poligami. Hey, it takes two to tango, doesn’t it?? Mengerti? 😉

NB:

*) Kenapa blog-blog wanita Muslimah? Karena kalau wanita bukan Muslimah mungkin poligami tidak ada dalam ajaran yang mereka percayai. End of story.

LSI vs. LPI : Pilih Mana?

Liga Primer Indonesia

Liga Super Indonesia

Sudah dua tahun terakhir ini, saya mulai bergairah mengikuti liga lokal, Liga Super Indonesia, yang banyak ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta di Indonesia walaupun tidak bisa saya ikuti terus setiap pertandingan yang ditayangkan di televisi.  Kegairahan saya menonton liga lokal di Indonesia mungkin disebabkan karena mutu permainan yang mengalami peningkatan walaupun tentu saja masih jauh di bawah kualitas liga-liga profesional di Eropa (bahkan di kawasan Asia lainnya) dan juga salah satu bentuk apresiasi saya pada produk dalam negeri. Nah, akhir-akhir ini muncul satu lagi yang mengklaim dirinya sebagai liga profesional di luar koridor PSSI yang secara implisit (bahkan mungkin eksplisit) berani menyatakan bahwa liga tersebut lebih profesional dalam pengelolaannya dan tentu saja dengan kata lain menyatakan bahwa kualitas permainannya juga lebih baik. Pertanyaannya, benarkah LPI ini lebih baik dari ‘saingannya’ LSI?

Bagi saya yang bukan pakar sepakbola tapi sangat menikmati pertandingan-pertandingan sepakbola, tidak penting liga mana yang lebih bagus, apalagi memikirkan intrik-intrik politik di balik kedua belah fihak yang bertentangan. Bagi saya, selama keduanya terpacu untuk menyelenggarakan liga yang profesional dan enak ditonton, kenapa saya harus antipati terhadap salah satunya?? Biarlah mereka yang lebih suka intrik-intrik politik di balik keduanya daripada pertandingan sepakbolanya sendiri ikut beradu siasat bagaimana mendiskreditkan liga lawannya sementara kita yang hanya menikmati pertandingan sepakbolanya patut bersyukur karena kini kita tidak hanya disuguhkan satu liga saja melainkan dua liga! Yang suka sepakbola sekaligus intrik politiknya bagaimana? Ha! Mungkin lebih asyik lagi, karena selain bisa menikmati pertandingan sepakbolanya mereka juga bisa menikmati ‘gontok-gontokan’ di antara keduanya.  Namun begitu kalau bisa, yang netral dan obyektif ya, jangan membabibuta berfihak pada salah satu fihak. Ingat, selalu ada kebenaran dan kesalahan dari kedua belah fihak. 😉

Sebagai penikmat sepakbola yang bukan pakar sepakbola, saya hanya berharap bahwa PSSI tidak terlalu mudah kebakaran jenggot, takut liganya nanti kalah pamor dengan saingannya sehingga ‘menyalahgunakan’ wewenangnya yang berakibat pada dilanggarnya hak-hak azasi banyak orang untuk berolahraga sepakbola dan menikmati pertandingan sepakbola. Sebaliknya LPI mudah-mudahan juga benar-benar tulus untuk mengembangkan profesionalitas Indonesia di tanah air dan bukan untuk kepentingan politik atau popularitas individu dan kelompok tertentu semata. Saya percaya, waktu akan menentukan siapa diantara keduanya yang lebih profesional kelak dan juga ‘seleksi alam’ cepat atau lambat akan menenggelamkan salah satu (atau bahkan mungkin keduanya) jika mereka tidak dapat beradaptasi dengan waktu dan lingkungannya. Yang jelas, mudah-mudahan persaingan di antara keduanya berlangsung secara sehat dan sportif. Prinsip ‘Fair Play’ bukan hanya terjadi di dalam lapangan saja, mari kita bawa ke luar lapangan hijau, dengan begitu kompetisi semakin enak ditonton dan semakin banyak orang yang menonton keduanya…. semoga… Insya Allah… 🙂

Bahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar. Maunya Bagaimana Sih?

Di dalam aktivitas pertwitteran saya (benar tidak ya Bahasa Indonesianya), yang akhir-akhir ini juga tengah menurun, saya mengikuti sebuah tweep yaitu tweepBahasa Kita‘, tweep yang sering mentwit tentang Bahasa Indonesia.  Isinya banyak yang menghimbau kita terutama secara tidak langsung untuk memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebenarnya hal tersebut dilandasi oleh niat yang baik yaitu untuk menghargai dan melestarikan Bahasa nasional kita, tidak ada yang salah dengan itu. Namun, saya sering memperhatikan bagaimana para pakar Bahasa Indonesia terlihat sangat ‘alergi’ untuk menggunakan kata-kata serapan bahasa asing (terutama dari Bahasa Inggris) seperti yang dapat terlihat dalam postingan ini. Dalam postingan di Facebook tersebut mengesankan seolah-olah si pakar Bahasa Indonesia terlihat alergi dengan kata-kata serapan asing seperti: magnet, geografi, musikologi, ros, akunting dan sebagainya.

Di satu sisi yang lain saya tidak melihat alasan yang kuat dari si pakar Bahasa Indonesia kenapa ia terlihat alergi dalam menggunakan kata-kata tersebut selain alasan: berasing ria! Tunggu dulu! Berasing ria?? Bukannya dari dulu, bahkan jauh sebelum ada istilah “Bahasa Indonesia” sendiri, bahasa kita telah menyerap istilah asing? Contoh saja misalnya kata-kata: “agama”, “kodi”, “apam/kue apam”, “swadaya”, “puja” dan masih banyak lagi merupakan serapan dari bahasa Sansekerta dan Tamil di India sana! Juga kata-kata “masjid”, “ibadah”, “manfaat”, “makhluk”, “majelis”, “kimia” dan bergudang-gudang kata lainnya berasal dari Bahasa Arab yang notabene (<—- bahasa asing) juga bahasa asing. Atau mungkin mereka beranggapan bahwa tidak mengapa kalau menyerap kata dari bahasa-bahasa di India atau bahasa Arab karena India dan Arab masih terletak agak timur daripada Eropa, jadi masih dekat dengan jati diri bangsa Indonesia!!

Oke.. (<— lagi-lagi bahasa asing) taruhlah alasan yang tidak masuk akal tersebut bisa saya terima. Namun bagaimana seperti kata-kata: “mandor (mandar)”, “pesta (festa)”, “bendera (bandeira)”, “keju (quiejo)”, “mentega (manteiga)”, “terigu (trigo)”, “boneka (boneca)”, “sepatu (sapato)”, gereja (igreja) dan masih berton-ton lagi kata-kata serapan dari Bahasa Portugis (kata asli Portugisnya yang di dalam kurung)?? Kita tidak sadar bahwa kata-kata yang kita pakai sangat umum tersebut merupakan bahasa asing. Kata tersebut tentu saja berasal dari barat, bahkan Portugal secara geografis lebih barat sedikit daripada Inggris. Belum lagi kata-kata serapan dari Bahasa Belanda seperti: wortel, rekening, koran (courant), saldo, abonemen (abonnement), kerah (kraag), beton, es (ijs), pintar (pienter), dan terlalu banyak kata lainnya untuk disebutkan yang kita tidak pernah sadar bahwa kata-kata tersebut sebenarnya adalah bahasa asing juga! Lantas apa bedanya kata-kata serapan tersebut dengan kata-kata seperti: magnet, geografi, akunting dan sebagainya seperti yang disebutkan sang pakar Bahasa Indonesia pada postingannya tersebut???

Bedanya?? Zaman dahulu belum ada pakar-pakar Bahasa Indonesia yang terkadang, maaf, agak résé dengan keantiannya terhadap kata-kata asing, sehingga zaman dulu proses asimilasi kata-kata tersebut ke dalam kosakata Bahasa Indonesia menjadi lancar dan tanpa tentangan. Namun kini, di mana sudah banyak ahli-ahli bahasa Indonesia, keadaan menjadi sedikit berbeda walaupun saya yakin  proses penyerapan bahasa asing tidak akan pernah bisa dihentikan. Mengapa? Karena proses penyerapan bahasa asing adalah proses yang natural (<— kata serapan Bahasa Inggris 😉 ) atau alamiah (<— kata serapan Bahasa Arab 😉 ) dalam perkembangan sebuah bahasa. Hal tersebut tidak hanya terjadi dengan Bahasa Indonesia tapi juga dengan bahasa-bahasa lain di seluruh dunia termasuk Bahasa Inggris. Dalam sejarahnya, Bahasa Indonesia telah mendapat tambahan kata-kata mulai dari bahasa-bahasa di India, bahasa Arab, bahasa Portugis, dan bahasa Belanda. Kini di zaman kemerdekaan, Bahasa Indonesia tengah dihujani kata-kata baru yang kebanyakan dari Bahasa Inggris. Di masa mendatang, ketika China telah menjadi adidaya dunia mengalahkan Amerika Serikat, tidak tertutup kemungkinan bahasa kita akan banyak dihujani oleh kata-kata dari bahasa Mandarin. Menurut saya biarkanlah hal tersebut terjadi secara alamiah dan wajar. Toh, saya yakin, kata-kata serapan tersebut justru akan memperkaya kosakata Bahasa Indonesia, yang akan membuat bahasa kita justru semakin berwarna-warni yang kaya akan pilihan kata, dengan menghalangi masuknya kata-kata asing apalagi secara berlebihan akan membuat bahasa kita menjadi bahasa yang miskin akan pilihan kata sinonim dan akan membuat bahasa kita menjadi bahasa yang membosankan…

Is Homosexuality Against Nature?

One early morning about 5, after offering up the dawn prayer, since I had nothing else to do and I was in no mood for the Internet, I remotely switched on the TV, after browsing a few channels around I came across a religious talk-show programme which is daily aired by a local TV station. I’m not sure what was the topic (because I only focused on it for a few minutes before I reclicked the  channel-up button) but I happened to hear the host of the programme confidently stating that ‘homosexuality is against nature (In Bahasa Indonesia: melawan kodrat)’. Perhaps the topic being discussed was about homosexuality or the like, I’m not sure.  Okay if you talk about homosexuality in the frame of religion especially in Islam, we all know too well that homosexuality is a sin and no mistake, I’ll second it.  But against the nature? That’s another thing that I would not agree on. After doing some googlings online, I found articles that supported my opinion that homosexuality is not against nature. I do not know exactly what did the host of the programme mean by ‘against nature’ but I assumed that  what he meant by ‘against nature’ is that it is not commonly or generally found in nature.  If only the pious speaker had enough time  to sweat over  thorough googlings I bet he would not say something like that!

If you search for  the information of homosexual behaviour in animal, you will be surprised to find that this behaviour is more than common in the animal kingdom.  According to Wikipedia, scientists have observed and documented  homosexual behaviour in about 1,500 species ranging from low-level vermicular species to higher-level primates.  The behaviours observed are sex, affection, courtship, pair-bonding and even parenting. Some of homosexual behaviours in certain species show interesting characteristics.

Black Swans

The Black Swan, for instance, an avian species which is found down under, has an astonishingly high-rate of homosexual behaviour. About 25% of black swans homosexually pair off! Usually a pen (a female swan) live with two cobs (male swans) in a nest.  The threesome ends up after the pen lays the eggs when eventually the pen is driven away by the cobs. The cygnets (the young) are raised by the homosexual cobs.  Amazingly the cygnets have higher rate of survivability than those raised by male-female parents! Perhaps it is because of the superior ability of the homosexual parents to defend their territory and to protect their young from external threats.

Two male mallards showing affection to each other

Mallard, another avian species, in which case the males have more beautiful vibrant colours than the females also engage in homosexual relationship. The homosexual behaviour is notably observed  amongst the drakes (the male ducks). The male-male sexual relationship in mallard is as high as 19% which is unusually high for avian species.  A drake usually pairs with a female duck at first. After the female lays her eggs, the drake leaves the female to begin a homosexual relationship with another drake.

The bonobos

Another interesting homosexual relationship is found in the Bonobos. Yes, a bonobo is a chimp-like species found only in the remote jungles of the Democratic Republic of Congo. The man’s next of kin is a fully bisexual species. Contrary to the mallards, the bonobos have highest rate of female-female relationships though male-male relationships are also observed.  It is recorded that 60% of Bonobo’s sexual relationships are female-female that makes bonobo the species that has the highest rate of homosexuality.

Those three mentioned are just a few out of numerous species out there where we can observe homosexual relationships. If you thought that homosexual relationships are only found in human you are definitely wrong because nature has  shown us that homosexuality is part of nature itself! Considering that homosexuality is ubiquitously found in nature throughout the animal kingdom, are we still thinking that homosexuality is against nature? (Hey, don’t get misguided, I am not promoting homosexuality here, but even though you think I am, I will not lose sleep over it either! 😆 I’m just showing you what really happens in nature no matter whether we like it or not! 😉 ).

Photos have been provided through the courtesy of Wikipedia.