Category Archives: Iseng

Parijs van Java dan Perasaan Inferior

Lambang kota ParisDi jejaring sosial Twitter, ada seorang rekan tweep yang suka “menyamakan” dirinya dengan seorang penyanyi cantik asal Colombia yang namanya meroket sewaktu piala dunia yang lalu. Sebenarnya sah-sah saja dan bebas-bebas saja dia menyamakan dirinya dengan siapapun juga termasuk dengan penyanyi tersebut. Namun begitu saya nasihatkan dia agar dia tidak perlu lagi menyamakan dirinya dengan penyanyi seksi Colombia tersebut  karena selain emang tidak mirip sama sekali, perbuatan tersebut hanya menunjukkan sifat inferiority complex , atau lebih tepatnya mungkin bibit-bibit IC yang ada pada dirinya. IC adalah perasaan inferior  akut yang ada pada seseorang ataupun kelompok orang (seperti suku bangsa, bangsa dsb.) baik secara sadar atau tidak. Tentu saja ia berdalih bahwa hal tersebut hanya sebagai lucu-lucuan saja. Namun begitu, tetap saja perbuatan tersebut sangat berbau IC karena memang perilaku yang berbau IC tidak berpengaruh apakah bertujuan lucu-lucuan atau serius. Salah satu ciri seseorang yang mempunyai sifat IC adalah senang disamakan atau menyamakan dirinya dengan orang atau fihak yang dianggap lebih superior (minimal dalam satu hal/aspek). Dalam kasus ini, yang (merasa) mempunyai wajah kalah cantik atau badan kalah seksi akan menyamakan dirinya dengan ia/mereka yang (dianggap) mempunyai wajah lebih cantik atau badan lebih seksi. Padahal andai dia konsisten dengan pernyataannya bahwa hal tersebut untuk lucu-lucuan, tentu secara logika ia akan memilih Omas atau Tessy Srimulat. Jadinya lebih lucu lagi kan? 😉

IC memang kebanyakan terjadi secara tidak sadar karena kita tidak akan pernah mengakui secara terus terang perasaan inferioritas kita. Sebenarnya perasaan inferior baik secara individu ataupun kolektif secara sadar atau tidak sadar ada pada diri kita semua.  Kita secara tidak langsung sering merasa inferior terhadap mereka yang lebih sukses, lebih pintar, lebih tinggi, lebih ganteng/cantik dan sebagainya. Perasaan inferior tersebut dapat terjadi pada level individu ataupun pada level kolektif sebagai sebuah bangsa. Namun jikalau perasaan inferior tersebut  menyebabkan pengasosiasian diri terhadap mereka yang dianggap superior maka gejala IC mulai tumbuh.

Perasaan IC bukan hanya terjadi secara individu, secara kolektif dan secara tidak sadar, bibit-bibit IC telah tumbuh di antara kita. Contoh adalah dalam sebutan kota Bandung sebagai Parijs van Java. Oke bagi sebagian orang Bandung mungkin bangga karena kota mereka disamakan dengan sebuah kota di Eropa, sebuah kehormatan bagi mereka. Kalau sekedar bangga ya tidak mengapa. Namun jika sebutan “Parijs van Java” tersebut mulai menggema di mana-mana, bahkan ada nama stasiun TV dan mal yang memakai nama tersebut, sehingga mereka lebih bangga menyebut “Parijs van Java” daripada istilah “Bandung” atau “kota kembang” di situlah bibit-bibit IC sudah muncul. Secara tidak sadar justru kita lebih mengidolakan kota Paris daripada kota Bandung. Kita bangga (secara berlebihan) kota kita yang inferior disamakan dengan kota yang superior. Sementara sebaliknya, kota Paris, kota yang superior belum tentu senang kotanya disebut Bandung de l’Europe, bahkan mungkin orang Paris tidak suka kotanya disamakan dengan kota Bandung yang inferior. Jadi jikalau orang Paris tidak suka kotanya disamakan dengan kota Bandung kenapa juga kita orang Bandung harus bangga (apalagi berlebihan) menyamakan diri kita dengan kota Paris? Marilah kita bangga dengan identitas kita sendiri, Paris adalah Paris, Bandung adalah Bandung. Masing-masing punya identitas sendiri-sendiri yang patut dibanggakan.

Jadi, marilah, kita bangga menjadi diri kita sendiri. Kita tidak perlu mengasosiasikan diri kita terhadap orang lain yang tidak perlu dan tidak bermanfaat. Kalau memang perasaan inferior itu bermanfaat sehingga memajukan prestasi kita, mungkin itu malah bagus. Namun, jika hanya sekedar bangga-banggaan, lucu-lucuan dan seterusnya selain kurang bermanfaat LAMA-LAMA juga jadi tidak membanggakan dan tidak lucu lagi malah melahirkan kesan ia ingin seperti “idola”nya tapi (tentu saja) gagal total! 😉

A, B atau C?

Cukup menarik artikel yang dibuat di blog manusiasuper di sini. Sebenarnya ada dua  pertanyaan yang diajukan di artikel manusiasuper tersebut, namun saya tertarik terhadap salah satunya saja. Untuk singkatnya, mari saya intisarikan artikel tersebut di sini. Oke, misalnya anda disuruh memilih dari ketiga kandidat berikut ini (diusahakan jangan golput 😉 )

Kandidat A:  Memiliki banyak teman politisi busuk, percaya pada ramalan bintang, punya dua istri gelap, perokok ganja dan minum 8 hingga 10 gelas martini per hari.

Kandidat B: Pernah dipecat dari kantornya dua kali, selalu tidur hingga siang hari, pengguna opium ketika menjadi mahasiswa dan minum setengah galon wiski setiap malam.

Kandidat C: Dinobatkan sebagai pahlawan perang, vegetarian, tidak merokok, sangat jarang minum minuman keras, dan tidak pernah melakukan pelecehan seksual apapun.

Ayo pilih sekarang! Nah….. anda sudah memilih?? Sekarang kita lihat siapa saja ternyata ketiga kandidat tersebut:

**

**

**

**

**

**

**

**

**

**

Dan ini dia ketiga kandidat tersebut:

Kandidat A: Franklin Delano Roosevelt
Kandidat B: Winston Churchill
Kandidat C: Adolf Hitler

Terkejut? Ya, sayapun juga terkejut. Tapi hanya untuk sementara. Ada dua hal kenapa keterkejutan saya hanya sebentar.  Pertama saya langsung menyadari bahwa pilihan di atas agak “mengarahkan” karena kandidat A dan B hanya dituliskan sifat yang buruk-buruk saja, sementara kandidat C hanya dituliskan sifat yang baik-baik saja.  Mungkin jikalau sifat-sifat kandidat A dan B diteruskan dan dimasukkan juga sifat-sifat baiknya sementara sifat-sifat kandidat C juga diteruskan dan dimasukkan juga sifat-sifat buruknya mungkin pilihan kita bisa berbeda. Kedua, tentu saja saya sadar bahwa seburuk-buruknya orang iapun pasti punya sifat-sifat positif juga, sebaliknya sebaik-baiknya orang iapun pasti punya sifat-sifat negatif juga jadi kasus di atas sebenarnya adalah hal yang umum.

Namun hal yang lebih penting dari adanya “kasus”  di atas adalah bisa membuat calon pemilih menjadi bingung karena dalam benaknya tertanam seolah-olah mereka yang mempunyai sifat-sifat baik ternyata bisa menjadi seorang “monster” dan sebaliknya. Sebenarnya kasus di atas memang bisa saja terjadi di dunia nyata ketika para pemilih dengan segala cara tidak bisa mengetahui sifat-sifat lengkap kandidat-kandidat yang akan dipilihnya atau pendek kata informasi mengenai kandidat-kandidat tersebut sangat terbatas. Kalau sudah begitu kini timbul dua pertanyaan, pertama, apakah jikalau kita memilih C (yang ternyata Adolf Hitler) berarti kita salah pilih? Tentu saja jawabannya ‘ya’. Tapi, pertanyaan kedua, apakah kita bersalah karena memilih C? Jawabannya ‘tidak’, karena kita sudah memilih dengan kriteria yang masuk akal berdasarkan informasi maksimal yang kita dapatkan. Memang betul, lain waktu jika ada kandidat-kandidat dengan sifat-sifat di atas bisa jadi kandidat C malah lebih buruk dari Adolf Hitler, namun jangan lupa bisa saja lain waktu ternyata kandidat A atau B yang memang jauh lebih buruk dari Adolf Hitler. Jadi jika ada pemilihan kandidat seperti di atas dan anda tidak mengetahui bahwa C adalah Adolf Hitler, dan anda hanya mempunyai informasi yang terbatas mengenai ketiga kandidat, maka jangan ragu-ragu untuk memilih salah satu kandidat yang menurut anda paling sreg, termasuk kandidat C ! 😉

Tees From The “O Nine” and “Ten”

Tee-shirts from PBs 09 & 10 still in their plastic bags!

I know… I know… it is a perfunctory, slipshod, unimportant, trivial, name your own adjectives, post I’m gonna write. Yes, you are right this post is nothing more than a filler since I myself am not happy to see my blog neglected. This neglect is of course as predicted caused by my long-standing laziness that I too hope that it will soon be over though for now I myself don’t know how to help it. But if you think that I don’t have any more interesting or more substantial topics to write, you are utterly wrong since I still have loads of them! And I will unload them one after another in good time! Trust me! 😉 Meanwhile, you are welcome to enjoy this trivial post of a relapsed lazy blogger. 😛

For those who partook in the yearly event of Pesta Blogger (PB), they always enjoy free t-shirts given away free. Since I have already participated in the last three PBs, naturally I have  at least had three PB tees. Two of them are displayed on the photo. Both are still wrapped in their plastic bags! Wait a minute…. you may understand if the PB 2010 tee is still in its plastic bag since the event’s just recently passed and I may not have the chance to wear it but what happened to the PB 2009 tee?? Why is it still in its plastic bag too? Am I not too happy with the shirt? Or do I still have not the chance to wear it after this one year? Yes, the latter is the right one. It is not because I don’t like it, it is because each year I get lots of free t-shirts that I have a closet of mine cramped with new and old t-shirts! So, this PB09 shirt is not the only one that I haven’t tried! Actually I still have another PB shirt which is from the PB08 but I think it has dicoloured with wear. I am not comfortable to display it because you will be likely to think that it is my grimes on my skin that stained the poor shirt! No way! 😛 It is natural for a white shirt to discolour with wear and age and I bet you notice it too! 😉

Okay, that’s it for now. So, what’s the point of writing this post? Nada! I told you it is just a filler.  If you don’t think well of my tone of writing on this post you can blame Harry for it. Because during the last PB, he’s the one who encouraged me to write anything no matter how simple it is, especially whenever I’m lazy, to get my blog updated. LOL. I’m just kidding, Harry!

Jangan Cuma Ingin Bermain Untuk Persib Aja…

Liga Super Indonesia tahun ini sudah dimulai beberapa minggu yang lalu. Walaupun banyak orang berkata terutama mereka yang kurang suka sepakbola kalau liga super di Indonesia itu banyak tawurannya namun entah kenapa sejak 2 tahun belakangan ini saya jadi suka nonton liga super Indonesia. Habis kalau bukan kita-kita para pecandu sepakbola tanah air yang menonton dan mengapresiasikannya, siapa lagi coba? Anggap saja nonton liga super Indonesia sama dengan mengapresiasi produk-produk dalam negeri lainnya seperti mengkonsumsi makanan Indonesia ataupun memakai produk-produk dalam negeri mulai dari kerajinan tangan hingga memakai jasa perbankan dalam negeri. Lha kalau bukan kita-kita ini yang mengapresiasi ya siapa lagi?? Betul nggak? 😀

Saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu seorang ibu-ibu penjual kupat tahu petis di dekat rumah saya di mana dulu saya jadi salah satu pelanggannya, pernah curhat sama saya, kalau anaknya susah belajar di sekolah. Maunya main sepakbola melulu dan cita-citanya ingin bermain bersama Persib maung Bandung. Lantas, saya berusaha untuk membesarkan hati **halaah** sang ibu tersebut. Saya mengatakan bahwa tidak menjadi soal kalau memang bakatnya adalah sepakbola. Mengenai susah belajar?? Ya… asal prestasinya tidak jeblog-jeblog amat ya tidak mengapa, tidak usah harus berprestasi hingga juara kelas walaupun usaha menuju yang terbaik harus tetap dijalankan. Yang harus diperhatikan adalah apakah si anak memang benar-benar menyukai sepakbola dan tidak hanya sekedar panas-panas tokai ayam seperti banyak blogger-blogger yang sudah berguguran juga karena panas-panas tokai ayam dengan alasan-alasan cengeng seperti sibuk atau koneksi lemot dsb?? Maklumlah kebanyakan anak-anak masih sekedar ikut-ikutan saja. Tapi kalau memang sudah pasti ya sebaiknya tentukan langkah sedini mungkin. Kalau mau jadi pemain sepakbola pro nggak perlu sekolah tinggi-tinggi hingga akademi apalagi universitas cukup hingga sekolah menengah dan setelah itu fokus menjadi pesepakbola yang pro! Tidak perlu berlama-lama menimba ilmu lain yang tidak ada hubungannya dengan sepakbola karena hanya akan membuang-buang sumberdaya saja baik waktu maupun dana.

Dan satu lagi, jika jadi pemain sepakbola pro, jangan pernah berfikir bahwa jika dia orang Sunda atau lebih tepatnya orang Bandung maka ia HANYA bercita-cita bermain untuk PERSIB! Jangan pernah berfikir seperti itu! Sebagai pemain sepakbola pro, lupakanlah kesukuan dan yang sejenis. Seorang pemain sepakbola pro, harus bisa bermain di klub manapun, nggak peduli apakah itu Persib, Semen Padang, Persipura ataupun bahkan di klub-klub luar negeri sekalipun! Jangan pernah berfikir jika ia orang Bandung maka ia harus membela Persib Bandung karena Persib Bandungpun belum tentu mau menerimanya bermain hanya karena ia orang Bandung! Jadi pendek kata, sebagai pesepakbola profesional, cintailah profesi sepakbolanya itu sendiri lebih dari klub manapun!

Si ibu penjual kupat tahu petis itu nampaknya bisa memahami hal-hal yang saya sebutkan pada awal-awal namun nampaknya beliau belum bisa mengerti mengapa anaknya sebagai orang Bandung “tidak boleh/bisa” selalu membela Persib. Namun tentu saja saya tidak bisa menyalahkan si ibu jikalau beliau tidak mengerti karena pasti beliau juga tidak mengerti dinamika dunia persepakbolaan profesional saat ini. Untuk mengerti hal tersebut tentu seseorang harus mengerti dinamika dunia persepakbolaan pro yang terjadi saat ini. Saya hanya bisa berfikir, biarlah sang ibu tidak mengerti hal tersebut namun saya yakin jikalau si anak kelak akan menjadi seorang pesepakbola pro, ia akan mengerti…

A Goal or A Save?

As I wandered off across YouTube on nibbling a prawn cracker I stumbled across this  video, it is one of the most hilarious penalty shots.  I have no clue in which land did this stupid penalty come about but in the background we would see a side commercial hoarding saying “Maroc Telec*m”, it would have told us the place of the event. The referee assigned to the match did not seem to have to walk a thin line between a goal and a save. It only took seconds for him to come up with a firm decision that would make the outright celebrating goalie burst into protest but it obviously went nowhere.

I’m not sure why is it called a goal, but in my opinion, this is in the shootout session because I can’t see other players rushing in to score nor to save. The ball had not left the playing field and no interventions from the other players to score a goal, so a goal is! The celebrating goalie is no doubt disappointed for not successfully saving a goal….. and his face! 😀

Makan Residu Kimia?

Dos yang ada tulisan 'dot' berisi jeruk mandarin H. Murcott

Bagaimana liburan lebaran anda? Mudah-mudahan menyenangkan dan dapat melepaskan kerinduan terhadap keluarga kita yang telah berceceran di seluruh negeri bahkan di seluruh dunia. Dan mudah-mudahan pula lebaran tidak digunakan sebagai ajang balas dendam makan minum sepuasnya karena sebulan penuh menahan rasa lapar dan haus. Tentu makan minum yang berlebihan selain tidak baik bagi kesehatan juga tidak menghayati nilai-nilai Ramadhan yang baru saja kita lalui. Namun begitu, bagi sebagian orang, makan minum yang sedikit berlebihan pada saat lebaran sudah menjadi kebiasaan dan terkadang tidak terhindarkan (asal jangan keterusan saja ya!). Hal tersebut mungkin karena ketika kita bertamu ke tempat saudara atau kenalan kita, kita selalu disuguhi makanan yang rata-rata berkadar gula tinggi, berkadar garam tinggi, berlemak tinggi dan seterusnya. Belum lagi, di rumah biasanya kita juga memasak masakan lebaran dan membeli kue-kue lebaran untuk menyambut tamu yang datang ke tempat kita, walhasil? jangan tanya deh…. kalori yang masuk ke dalam tubuh kita!

Nah, ini belum termasuk bingkisan lebaran yang sering kita dapatkan! Biasanya kita mendapatkan parsel yang berisi makanan-makanan olahan pabrik yang kaya kalori, kaya sodium (natrium) namun rata-rata minim gizi. Satu-satunya macam parsel yang boleh dikata berisi makanan bergizi mungkin adalah parsel yang berisi buah-buahan! Tahun ini, alhamdulillah, cukup banyak juga saya mendapatkan parsel yang berisi buah-buahan (walau parsel yang tidak berisi buah-buahan juga patut disyukuri dong). Salah satu parsel yang cukup menarik perhatian saya adalah (bukan berupa parsel) sebuah dos yang bertuliskan “dot” seberat 10 kg berisi jeruk mandarin Honey Murcott. Jeruk-jeruk tersebut ternyata diimpor dari Argentina. Rasanya?? Manis tentu saja, dan kualitasnya memang prima. Jeruk-jeruk tersebut diproduksi, dikemas dan diekspor oleh perusahaan agribisnis Argentina bernama CITRIC*LA AYUí S.A.A.I.C. Kemarin, ketika saya sedang asyik-asyiknya menyantap jeruk tersebut, saya iseng-iseng membaca informasi yang ada pada kardus tersebut. Semua informasi ditulis dalam Bahasa Spanyol. Namun begitu untuk informasi-informasi yang singkat seperti yang tertera pada dos tersebut saya masih bisa mengerti. Ada dua buah informasi yang menarik bagi saya yang ada pada dos tersebut. Pertama, informasi yang berbunyi: “Tratado con: TBZ, orthophenylphenol, imazalil, synthetic wax. Kedua, informasi yang berbunyi: “FRUTA DESINFECTADA SEGÚN DIRECTIVA 2000/29/CE CON HIPOCLORITO DE SODIO 200 PPM DOS MINUTOS”.

Kalau sudah ada informasi seperti itu, ya jangan berharaplah buah-buahan yang kita makan  bebas dari residu kimia, walaupun secara resmi memang penggunaan bahan-bahan kimia seperti yang tertera di dos jeruk mandarin tersebut memang secara resmi diperbolehkan. Jadi jangan berharap deh, buah-buahan yang kita makan adalah buah-buahan organik yang bebas bahan pengawet, bebas disinfektan dan bebas penyinaran. Orthophenylphenol misalnya digunakan agar si buah bisa bertahan lebih lama di pasaran (sebagai pengawet) sementara natrium hipoklorit (hipoclorito de sodio) digunakan sebagai disinfektan agar si buah tidak diserbu oleh organisme-organisme yang tidak diinginkan (natrium hipoklorit ini sebenarnya juga kita pakai pada pemutih pakaian! :mrgreen: ). Tentu saja saya bisa mengerti, dari tempat pemetikannya di Argentina sana hingga mencapai rumah saya di Jakarta, tentu si jeruk akan mengalami perjalanan yang sangat panjang. Tanpa pengawet tentu jeruk yang tiba di rumah saya tidak akan segar lagi, dan perjalanan panjang ribuan kilometer menyeberangi beberapa benua dan lautan menyebabkan si jeruk mungkin rentan terkena organisme-organisme mikro yang tidak diinginkan untuk itu bisa dimengerti kenapa bahan-bahan kimia tersebut dibutuhkan pada saat buah-buahan tersebut akan dikirimkan ke seluruh dunia. Toh, kita juga hampir tidak mungkin, misalnya, mengkonsumsi apel organik dari California, lantas kita makan itu apel di Jakarta masih dalam keadaan segar 100%. Saya juga pernah membaca di majalah TIME bahwa produk organik yang terbaik adalah produk organik yang ditanam di tempat lokal agar masih terjaga sempurna kesegarannya. Nah… kalau sudah begini, jikalau kita ingin memakan buah, apalagi buah impor, hampir dipastikan kita juga memakan residu kimia (sintetis) dari bahan pengawet dan disinfektan. Yah… apa boleh buat! :mrgreen:

Kentyucky Fried Chicken??

Before you are amused or irritated with the title above, I would like to let you know that the title is not ridiculing the video nor it acts as a cynicism. On the other hand, I value this video and in connection with the holy month of Ramadan (though this video is not intended to be “Islamic”) I strongly suggest that you must see this  deeply moving documentary video, so you can appreciate each grain of the rice you spoon into the mouth and each bit of your chicken you bite every day and never mistake your food for ever abundant manna from heaven that you think you can waste your food with abandon.

Actually I don’t detest the globalisation insinuated by this video, but our habit which is inclined to waste the food by producing a large amount of scraps on eating our meals that disgusts me as though we have never appreciated the food we live off, though I’m not sure either whether or not they even thank us for leaving the scraps that nourish them, the scraps which are luxurious for them, seems the only way they taste the “luxury”. Whatever it is, on seeing this short flick honestly I could not choke back the tears in my eyes…